Dia mewujud ketika saya berumur 24 tahun. Tumbuh perkasa dan menyakiti saya hampir dua tahun setelah itu. Tak hanya pikiran dan perasaan, bahkan fisik. Beberapa kali wajah saya tiba-tiba terlihat tambun akibat tingkahnya. Sungguh menyakitkan dan mengganggu komposisi paras saya. Segenap pisuh-pisuhan sudah memenuhi kepala saya, mulai dari jenis-jenis sato kéwan hingga ke pelimbahan.
Jika terus dibiarkan, mungkin suatu saat bisa lebih menyakitkan dari ini. Maka saya putuskan untuk menghentikan rongrongannya. Mbuh bagaimana caranya, harus segera disingkirkan!!
Sama sekali tidak bisa diarih-arih, pergilah saya kepada “sang mumpuni”. Saya ceritakan semua soal si bungsu bejat itu. Betapa kelakuannya menjengkelkan dan memuakkan, menggerogoti jiwa dan raga, lantas merusak segala jenis hasrat saya.
“Sang mumpuni” hanya senyum, kemudian menyelidiki semua yang saya katakan. Menulis-nulis sebentar, dan diberikannya catatan itu kepada saya disertai saran untuk menemui “sang pembukti”, baru kembali lagi kepadanya.
[Siaaall..! hanya oret-oretan begini sama saran pembuktian lebih lanjut, … anjritt!! Malah disuruh wira-wiri…]
Menahan emosi terasa sangat menguras energi, nalar saya tidak lagi tangkas. Persetan dengan “sang pembukti”, SAYA HANYA MAU SI BUNGSU SEGERA DIENYAHKAN. TITIK!!.
Kata-kata penutup “sang mumpuni” sama sekali sudah tak bisa saya dengarkan. Saya undur diri dengan perasaan letih luar biasa.
Saya mencoba tidur, meredakan semua yang sedang saya idap, pikiran, perasaan dan kesakitan. Saya keluarkan catatan dari “sang mumpuni”, berpikir lambat-lambat dengan sisa nalar. Akhirnya saya ikuti juga yang tercatat di sana, tapi untuk datang kepada “sang pembukti”, sama sekali tidak saya pertimbangkan. [wueguahh...!]
Satu-dua hari sudah lewat, saya mereda. Kebetulan saudara saya -yang juga faham betul bagaimana kelakuan si bungsu- memberikan jalan keluar yang saya butuhkan. “Sang penentu” sekaligus eksekutor. Saya minta dibuatkan janji hari itu juga.
Tak lama kemudian saya menemuinya. Sama seperti kejadian sebelumnya, saya bercerita, dia menyelidik. Tapi kali ini kami juga membuat kesepakatan. “Besok, di waktu yang sama, Anda harus kembali kemari.” Saya mengangguk segera.
Esoknya, saya kembali.
Si bungsu disingkirkan, dan saya lega. Berkurang satu ganjalan saya…
-----
Dalam dua pertemuan penentuan, saya menanyakan banyak hal. Nalar saya yang relatif lebih komplet memungkinkan untuk itu. Catatan dan saran dari “sang mumpuni” mendapatkan penjelasan di sini, dan kemarahan saya ketika itu jadi sangat menggelikan.
Bahwa gigi bungsu saya tumbuh serong dan melukai gusi.
[woo…, baru tumbuh saja sudah serong, gimana kalo udah gede…]
Sisa-sisa makanan dan minuman yang tertinggal di mulut, jika tidak dibersihkan bisa menyebabkan infeksi dan pembengkakan.
Jika gusi bengkak, harus dikempèskan dulu sebelum dioperasi.
[HAH.., operasi…??!]
Lho iya…, karena gigimu ini gigi sehat. Kalau gigi busuk mah, lebih mudah…
[dan lebih murah… weeek]
Ketika gusi bengkak, pembuluh darahnya juga membesar. Susunan pembuluh ini jadi terlihat lebih ruwet dan uyel-uyelan dengan syaraf-syaraf di gusi.
Yang namanya bengkak kan jadi membesar, lalu mendorong syaraf sehingga bisa bergeser tempat. Ketika operasi dan diodhel-odhel, kan tetap ada kemungkinan terjadi kelebihan mengiris atau memotong.
[teruus..., teruuus... medèn-medèni....]
Kalau motongnya kelebihan dan kena pembuluh darah, masih lebih mudah dibereskan. Gimana kalau yang kena syarafmu, coba?
[Wakks…! dadi édan, no? Wah, kojur ki…!!] Saya mringis saja, nggak nerusin nanya…
Bener apa nggak, saya nggak tau, pokoknya saya percaya saja. Lha wong yang menjelaskan kepada saya memang kerjanya begituan, kok…
Kalau mau tahu sebetul-betulnya, coba tanyakan soal si bungsu ini kepada ahlinya.
Cuma yang bikin saya bingung sekarang, namanya gigi bungsu tapi kok ada empat biji…, atas dua bawah juga dua.
Kalau tumbuhnya satu-persatu masih ketahuan mana yang paling bungsu, kalau trus bersamaan empat-empatnya, mak brol gitu, gimana?
Lha wong mereka pada nggak punya akte kelahiran.... Mana yang paling bungsu, hayo…?
Catatan:
Sang mumpuni = dokter gigi (mumpuni=mampu, menguasai bidangnya)
Sang pembukti = tukang ronsen
Sang penentu = dokter gigi
Eksekutor = dokter gigi juga
** Soal othot-othotan antara cangkem saya dengan dokternya, tak perlulah saya ceritakan, bayangkan saja sendiri situ… saya males.
perkenalkan, ini gigi bungsu saya yang paling sulung
[Hhhh… kérééé, kéré…, bungsu saya masih ada tiga lagi…
ngalami evolusi saja kok cuma gusiné thok!!]