18 Juni 2008

Biyayakan di pinggir hutan

Biyayakan tidak ada hubungannya dengan kata biaya ataupun pembiayaan apalagi pembiakan, meskipun bunyinya mirip-mirip. Dudu! ini pure biyayakan dalam bahasa ibu saya. Mengandung sebuah maksud yang dicuplik sedikit-sedikit dari makna kata-kata berikut ini: kalang-kabut, tunggang-langgang, tergesa-gesa, lan sapituruté, lalu dijadikan satu.

Sudah? Sekarang saya mau cerita.
Bulan lalu saya pergi kulakan ke Kabupaten Pidie, Negeri Aceh sana. Rencananya mau menelusuri hutan dan pegunungan yang setengah perawan. Bergerak bersama 6 kawan, siap dengan perlengkapan dan perbekalan untuk 10 hari, ditemani 2 orang pawang hutan. Titik akhir perjalanan di Gunong Tutong dan Gunong Peut Sagoe dengan ketinggian 2.500-an meter di atas permukaan laut, akan kami tembus dalam 7 hari dan 2 hari lagi untuk jalan pulang. Mlebu ngalas, nyabrang kali, munggah gunung, kèmping... Jan, bikin ngiler sak awak membayangkan keasyikan yang bisa dilakukan nantinya.

Malam pertama dan ke dua, kami tidur di tepi sungai. Tempat yang sama, karena hari kedua itu Jumat, dan kebiasaan setempat Jumat berarti jeda aktivitas. Sayang, saya lupa membawa peralatan mancing... suepet pol. Satu hari dua malam nggamblèh thok di bawah rentangan tenda plastik. Ya sudahlah, saya ikut-ikutan saja memilin tali, yang kata salah satu pawang, akan dipakai menjerat rusa.

Proses membuatnya membuat saya cukup terhibur, tetapi membayangkan rusa terjerat, kok saya nggak tega. Padahal saya kan tega mancing ikan, ya? tapi piyé manèh, gawan bayi, jé...
Jerat didesain menggunakan dahan pohon sebagai tuas pelenting tali laso jerat. Pemicunya menggunakan rotan tali yang dianyam sedemikian rupa, yang bila diinjak oleh sang rusa akan memicu lentingan tuasnya.

Hari ke tiga, kami bolak-balik menyeberang sungai untuk mencari jalur yang bisa dilalui. Titik perhentian adalah lokasi transmigrasi SP- IV yang kini kosong. Dulu, penghuninya adalah orang-orang dari Jawa dan Madura yang terpaksa pulang kampung akibat konflik bersenjata di negeri ini. Kebun dan rumah-rumah ditinggalkan utuh, dijajah semak dan alang-alang. Nampak dari bekas tapak kaki dan kotorannya yang mrongkol-mrongkol di sekitar situ, perkampungan ini sering disinggahi gajah liar. Kata pak pawang, di lokasi trans tetangga yang sama lengang, seminggu sebelumnya terlihat gerombolan gajah sekitar 30 ekor sedang kongkow-kongkow. Blaik kalau sampai ketemu, bisa penyèt. Guedhi tenan. Lha sebutir prongkolan tainya saja segede ndhasku, jé...

Malam itu kami bakal istirahat di bawah atap betulan berbahan seng. Segala ubarampé segera disiapkan. Sebentar kemudian gerimis turun, tetapi kali ini ponco harus menunggu jatah beraksi di lain waktu. Habis makan malam, kami cerita-cerita sambil menggelar peta dan tutal-tutul GPS sambil pas-pus ngomprongi congor.

Lha ujug-ujug...
, seorang kawan berseru panik: "Mana Pak Rasyib, mana dia?"
Pak Rasyib itu salah satu pawang hutan pemandu tim kami. Dalam hati saya ngedumel, kenapa mesti ribut, pawang kan jagonya di hutan dan alam bebas, ya biarin aja...
Katanya tadi pamit buang air!
Namanya juga kebelet, trus kenapa?
Pakai sepatu, sarungan, bawa parang dan senter!
Lha, di antah-berantah yang gelap gini, kan wajar?
Tapi sudah lebih dari lima belas menit belum balik!
Kebebelen kakèhan sega campur mi kruwel, juga bisa...
Jangan-jangan kambuh lagi!
Haits, kambuh apa?!
Dia pernah sakit jiwa gara-gara dipukuli aparat di awal 90-an karena dituduh mencuri peralatan di lokasi pertambangan.
DHUENGG!
Lha blaik, amit-amit wong gendheng...!

Tak usahlah saya ceritakan adegan oyak-oyakan dengan orang sakit yang lari malam dalam hujan. Atau membaca jejak macam Old Shatterhand dan Winnetou, sambil trataban wedi didingkik orang sakit menyandang parang.

Paginya kami putuskan melanjutkan pengejaran sambil pulang untuk memastikan keberadaan si pawang sakit. Gas pol! Jarak tempuh dua hari kami babat sehari. Nafas saya sudah undlap-undlup, hidung saya megar-mingkup. Serta-merta ungkapan "biyayakan kaya dioyak setan" sudah tidak berlaku lagi, sudah saya ganti "biyayakan kaya ngoyak wong édan".