18 April 2007

Juragan Becak

Seperti layaknya di stasiun-stasiun lain, di depan pintu keluar Stasiun Klaten sudah berkumpul kerumunan orang siap menawarkan jasa angkutnya, biasanya ada mobil, ojek, andong atau becak. Mereka begitu hafal jadwal kereta yang berhenti di stasiun, sehingga kerumunan seperti itu akan terjadi berkali-kali dalam satu hari dengan orang yang berganti-ganti.

Mendengar ada yang menawarkan andong dan becak, saya jadi ingat lagu anak-anak:
dondong apa salak, duku cilik-cilik,
ngandong apa mb
écak, mlaku thimik-thimik..

Tapi dalam posisi saya kali ini lagunya agak berubah:
dondong apa salak, bakule dhèmes-dhèmes, (dhemes setara dengan luwes dan ayu)
ngandong apa mb
écak, mlaku teles kebes... (teles kebes = basah kuyup)

Selepas dari stasiun, tujuan kami berikutnya adalah perhentian angkot untuk melanjutkan perjalanan. Sebenarnya tidak terlalu jauh dari stasiun, tapi mau jalan pun pasti basah kuyup, soalnya hujan memang masih belum selesai. Maka pilihan terbaik jatuh kepada becak.

Saya sebut nama sebuah bank -yang terhubung oleh satu jalan lurus ke stasiun- yang harus kami singgahi dulu. Biasalah, urusan logistik tentu harus dipersiapkan sebelum menyelesaikan urusan-urusan yang lain. Sembari kami turun, saya minta si pengendali becak untuk menunggu kami sebentar, karena masih ada tujuan utama kami.

"Mas, pun tengga sekedhap, nggih.. mangké pun terké sisan teng ngekolan". Tanpa menunggu jawaban, kami berlalu. (Mas, tunggu sebentar, nanti sekalian ke ngekolan)

"Ngekolan", hehehe... istilah yang salah kaprah tapi jauh lebih efektif daripada menyebut "tempat menunggu mobil angkutan umum yang memiliki merk Colt dengan seri L-300".

Urusan logistik selesai, kami keluar dari pintu anjungan tunai mandiri dan kembali memanjat becak. Begitu kami sudah duduk dan hendak menarik plastik penutup becak bagian depan, sang pengendali becak berucap,

"Mas, njenengan kok ajeng teng ngekolan niku, yahmènten pun mboten ènten kol, lho...." (Mas, mau ke ngekolan, jam segini sudah tidak ada colt, lho..)
"Tenané, Mas...?" seru saya tidak percaya.
"Lho..., lha kula niku bekas sopir kol solo-nan, jé... Percaya kalih kula, Mas...!" (Saya ini bekas sopir colt, Mas... Percaya sama saya...) Kemudian dia lanjutkan dengan pertanyaan, "Lha, Masé kalih Mbaké niki ajeng tindak pundi, ta?" (Mas dan Mbak ini mau kemana?)
"Teng Karangwuni..." Saya sebut nama tempat di sebelah utara Kota Klaten. (Ke Karangwuni..)
"Ajeng tindak Pédan napa Cawas?" tanyanya dengan nada agak sok tau. (Mau pergi ke Pedan atau Cawas?)
"Mboten, kula ten Karangwuni-né," (Tidak, saya mau ke Karangwuni)
"Ooo... Pun kalih kula mawon, pripun? Nek mung teng Karangwuni men kula dhèrèkké mawon, dospundi?" (O, saya antarkan saja, gimana?)
"Hèh, tebih lho, Mas... nek mung wolung kilonan nggih ènten, lho... ngganggo tanjakan, sisan!" (Jauh lho, Mas.. lebih 8 km, ada tanjakan, lagi..)
"Halah, pun... kunciné rak mung teng Jonggrangan ngriku. Liyane niku pun mboten ènten melih, kok... Paling dangu sakjam, kula tanggung... Napa melih udan-udan ngèten, mesakné... (ma)Ngga...?" (Halah, kuncinya cuma tanjakan di Jonggrangan, saya tanggung paling lama 1 jam. Apalagi hujan begini kan kasihan...)

Tidak jelas arah kata "mesakné" yang tertangkap telinga saya, entah buat saya, teman jiwa saya atau dirinya sendiri. Tapi yang jelas, rayuan dan nada umuknya itu berhasil "membakar" saya... (umuk=sombong)

"(ma)Ngga, kula dhèrèkké mawon, nggih?" (Mari, saya antar saja, ya?)
"Lha trus..., dugi Karangwuni pinten, Mas..?" (Sampai Karangwuni berapa?)
"Mangga sakersa, pun kira-kira dhéwé mawon..." (Terserah saja, dikira-kira sendiri)

Woooo, pancen rada ra cetha bocah iki... Lha wong aku ki penumpangé kok malah kon ngarani ongkosé..! Mengko nek tak wenehi rong ngewu, njur ngejak gelut....!? Dalam hati saya nggedumel. (Woo, gak jelas..! penumpang kok disuruh nentuin tarif. Ntar dikasih 2 ribu malah ngajak ribut...)

"Lho, pripun ta njenengan niku? Lha ya njenengan sing ngarani, no...!" nada kalimat saya agak meninggi. (Lho, gimana sih, berapa dong?)

Dia terdiam, mungkin mikir-mikir. Akhirnya agak pelan dia menyebut angka, "Tigangndasa pripun, Mas...? pun diétung sedaya termasuk sing niki wau..? (Tiga puluh ribu semuanya, gimana?)

Kami saling pandang, begitu teman jiwa saya mengangguk, saya segera mengiyakan tawaran "The Master of Geol" itu.
Wis... mbuh, karepmu!! pikir saya...

"Kalau capek, saya nggak tanggung lho, Pak...," kali ini teman jiwa saya yang memberi peringatan plus nada ragu.

"Halah... bèrès, Mbak!"

Kesepakatan sudah tercapai, segera Mas Becak nyéngklak sadelnya dan mulai menggenjot... (nyengklak=menaiki dengan melompat)

Di dalam ruang penumpang, teman jiwa saya berucap pelan, "Orang Klaten memang gila!!"
"Hehehehe...," saya cuma terkekeh pelan tidak mengiyakan pula menyanggah.

Beberapa menit mengayuh dalam gerimis, dia mulai menuturkan curriculum vitae-nya. Dia memulai mencebur dalam bisnis transportasi rahayat ini tahun 1994 sebagai kenek colt. Tahun berikutnya dia berhasil meng-upgrade kemampuan dan mempromosikan dirinya sendiri menjadi sopir angkutan jenis yang sama, dengan trayek Klaten-Solo. Profesi sopir ini dia jalani sampai tahun 2004, ketika dia memutuskan untuk mengganti wahana yang dikemudikannya dengan menukarkan tabungannya menjadi sebuah becak.

"Olèh-olèhan nyopir niku rak tesih kudu nggé tumbas bèngsin kalih nggé setoran ta, Mas...? Timbangané ngoten kula ya milih mbécak mawon tapi genah duwèké dhéwé...," urainya kepada kami berdua. (Pendapatan nyupir itu kan masih dipotong bensin dan setoran, kan lebih baik saya pakai becak milik sendiri, Mas)

Saya hanya mengangguk-angguk dalam ruang penumpang, dalam hati menyatakan sepakat bulat-bulat... Hebat sekali Mas Becak ini, tetap memilih jadi juragan untuk dirinya sendiri meskipun kata orang turun derajat, daripada jadi buruh!

Dia kemudian menceritakan keadaan sepanjang jalan yang kami lalui bak pemandu wisata kampiun. Penumpang di becaknya memang tidak bisa memandang ke luar karena plastik penutupnya berwarna putih dan sudah semakin buram akibat terlipat atau tergores.
Penumpang hanya bisa menyibak sedikit pinggiran plastik, sekadar bisa mengintip ke depan tapi tetap sulit memandang kanan-kiri.

Saya colek teman jiwa saya, sambil menunjuk warung tenda yang kemarin malam kami singgahi. Tulisan biru dan merah pada tenda kain warna putih itu berbunyi, Welut Goreng dan Sambel Welut Pak G'. Di bagian bawah tertulis nama tempat dimana warung berdiri, Depan LP Klaten. Sayang sekali saya tidak membawa alat jepret.

"Mengké dalu ènten ndhangndutan teng alun-alun lho, Mas. Disiarké teng tivi niku mengké..." (Nanti malam ada panggung dangdut di alun-alun, Mas. Disiarkan di tv juga) Dia berujar tanpa menyebutkan stasiun tv mana yang menyiarkannya, dan saya juga tidak bertanya karena sedang tidak bernafsu nonton ndhangndhut live saat hujan terus-terusan begini ataupun nonton tivi kemresek..., tapi saya intip juga alun-alun yang dia maksud. Tidak kelihatan alun-alunnya karena sudah terlewat tapi mata saya menangkap satu-satunya mall di Klaten yang letaknya bersebelahan dengan alun-alun, yaitu "Plasa Klaten".
Nama pasar modern ini adalah peninggalan jaman orde baru, ketika diberlakukan pengindonesiaan nama-nama bangunan megah di tahun 1995. Kebetulan saya belum pernah menemukan pengindonesiaan seperti ini di tempat lain. Dua kali sayang, tidak ada kesiapan saya untuk menjepret bangunan peninggalan ini.

Becak terus melaju meninggalkan pusat keramaian. Kata-kata pemandu wisata instan juga mulai terhenti karena jalan sudah ada yang mulai menanjak.

Akhirnya, sampailah kami di tanjakan yang kami bicarakan sebelumnya di daerah Jonggrangan. Dilihat dari kejauhan, tanjakan itu memang lumayan mantap kalau ditempuh dengan genjotan, cocok untuk proses memperbesar betis. Kami berdua mulai was-was.
Tapi umuke mas pengemudi ternyata terbukti. Memang betul di daerah Jonggrangan ada tanjakan, tapi sebelumnya juga ada turunan yang tak kalah asoy. Dengan pengalamannya yang lama di jalanan, dia sudah mengenal betul jalan ini. Lubang dan kerutan aspal bisa dihindari dengan mulus sehingga turunan bisa menyumbangkan tenaga yang maksimal untuk becaknya ketika jalanan menanjak. Perhitungan yang matang!

Selewat tanjakan, barulah beliau mulai lagi buka suara, "Karangwuni pundiné ringinan, Mbak?" (Karangwuni sebelah mana pohon beringin, Mbak?)
Sudah tentu yang ditanya tidak bisa menjawab, mengerti pertanyaannya saja belum tentu... Sayalah yang kemudian menjadi juru bicara,
"Ngalor melih, Mas.. étan ndalan..." (Ke utara lagi, Mas.. Sebelah timur jalan raya)
"Kalih saténan?" (Dengan warung sate?)
"Tesih ngalor sithik.. Ngebanan nika lho, Mas.." (Masih ke utara lagi, tempat kerajinan dari ban)
"Oo... nggih... Ngertos, kula..."

Dalam waktu kurang-lebih empat puluh lima menit kami sudah tiba di depan rumah... Betul-betul orang ini... lebih dari delapan kilometer menggeol dengan beban tiga orang.

Kami melompat turun. Sambil menghindar dari hujan saya minta dia masuk dulu dan menunggu sebentar, kemudian saya masuk rumah. Sambil menyiapkan ongkos yang sudah kami sepakati, saya raih kamera.
Ketika saya keluar, ternyata dia malah jongkok di samping becak, tak mau masuk rumah... Aah, sudahlah.... speechless, saya....

"Mas, nyuwun gambaré angsal, mboten?" (Mas, minta gambarnya boleh, nggak?)

Dia cuma nyengir, trus ambil posisi di depan becak. Jepret, jepret, jepret...

"Wah, maturnuwun lho, Mas..." kata saya. Eh, dia langsung menyalami kami berdua...
"Sami-sami, Mas... Kula pamit riyin, ajeng langsungan mawon selak peteng..." (Sama-sama. Saya pamit dulu keburu hari gelap)

Belum sempat saya merespon, dia sudah langsung nyéngklak sadelnya lagi dan mengayuh... Saya bengong... Lho...?? Saya juga belum sempat tanya namanya...
Hari hampir maghrib, mungkin memang sudah saatnya dia pulang setelah seharian menghayati peran hidupnya, berbekal "dungoné simbok" di rumah... (dungone simbok maksudnya doa ibu)

Belakangan setelah melihat lagi hasil jepretan, ....uassem ki...!! di kaosnya tertulis: "PLEASE DON'T PROVOKE ME". Sementara dia sudah berhasil mem-provoke saya sehingga "panas" dan naik becaknya....

catatan:
semoga penjelasan di dalam kurung tidak mengurangi kenyamanan membaca....

14 komentar:

Anonim mengatakan...

bung peri, situ memang edan! suka betul saya..... di karangwuni, pasti ente kenal tusi, fafa (fawarti), juga bu wido....

pengalaman mbecak dari stasiun, membuatku bisa sedikit menebakmu: kemungkinan ente kelas menengah sungguhan (kalau bank-mu Niaga). atau latah punya rekening BCA yang bersebelahan dengan Niaga. Kalau bank di seberang Niaga, aku agak kurang yakin.

sebab, orang sepertimu tak layak memegang buku SIMPEDA apalagi SIMPEDES (meskipun wong karangwuni)

huauauauauauauauauauauauuuuuuaaaaa

endik mengatakan...

jebul wong cawas kowe mas...? cawas po pedan..?
kok rak wiraswastanan sego kucing wae..?
ngertio titip tukokno songkro kucingan anyar aku, sing nganggo kayu nongko

anakperi mengatakan...

mas blonty: walah, kuwi tanggaku kabeh je...
kok kluyuran nggone bu wido, ngunggahke setrum pa?
itu analisa apa pengalaman pribadi, mas? tapi disebut kelas menengah, wah jan seneng aku, munggah pangkat... hehehe...

kawoela alit: aku ijik nguntale thok ae, rung wani melu dodolan.
eh, songkrone sing nganggo ban pit, ban motor pa ban mati?

Anonim mengatakan...

what a man! maksudku pak becaknya, dudu sampeyan lho...ojo ge er, hihihi....

btw, mas..udah sign petitiononline? ada di blogku, mas. ayo bantu sebarkan ke komunitas sampeyan ya? makasih banyak :)

Cempluk Story mengatakan...

Mangga sakersa, pun kira-kira dhéwé mawon,mgk si tukang becak ini menganggap tarif gak terlalu penting, asal pelanggan puas dgn kinerja si tukang becak ini, klo dikasih 2ribu dgn hub kata2 diatas spt nya mau deh .hehe..piece !!

Anonim mengatakan...

hehehe... juragan ban karangwuni. sampeyan saiki neng mBetawi po? kok sajak romantis numpak becak...?!?

kapan-kapan yen neng karangwuni maneh, ojo lali kabar-kabar. kita bisa kopdar di warunge bu wido.

anakperi mengatakan...

tante venus: mosok geer thok we gak entuk ta, tan...? kan tidak membunuh kaya di ipdn...?

CempLuk: lha tapi, ketoke cen alus, nrima ngono kuwi... nek ngaplok ya tetep lara je, mas... :/

Mas blonty: lho jelas..., timbang engklek...? aku saiki lagi tunggu kali ciliwung bagian ndhuwur ki..
- nggone bu wido? oke, mas...

Anonim mengatakan...

ayooo .... anakperi+blonty = tukang becak klaten bersatu!!!

anakperi mengatakan...

moes jum: nyilih kempole sedhela, pakdhe... entuk, ra?

Anonim mengatakan...

makasih critanya.... jadi teringat masa-masa masih di Yogya dan sering ke Solo lewat Klaten.....

Anonim mengatakan...

teman jiwamu ki yo wedok tenanan mas?

Unknown mengatakan...

its way of survive.....
bukankah spt itu sebuah perjalanan hidup?
salam kenal..

anakperi mengatakan...

koeniel: lho, mbak koeniel dulu nggenjot becak juga, to? ... :D

pitik: lha kuwi, kang... arep tak buktikan dhewe, malah digajul raiku, je...

may's: salam juga, bu guru... salut.

Anonim mengatakan...

woww..benar2 itu tukang becak membuat kagum, wih..ceritanya baru saja mempertemukan calmer dan calman tho..*undangane rek..ojo lali*