16 Agustus 2008

merdeka atau kere? atau bodho? atau kere banget?

Masih ingat tulisan B3B yang entah mulai kapan itu dicatkan di genteng-genteng rumah warga? Bebas tiga buta: buta aksara dan angka, buta bahasa Indonesia, dan buta ilmu pengetahuan dasar. Saya merasa, semakin ke sini, kebebasan itu kok semakin sulit, ya? Sekolahan pada rontok, kekurangan guru, bersekolah biayanya mahal, sementara penduduknya nggak mungkin disuruh brenti manak.
Kalau kata pamong negeri yang ngurusi bagian meteng-manak-menyusui, anak usia 7-15 tahun yang tidak sekolah hampir 4 juta anak, sedangkan yang buta huruf di atas usia 15 tahun ada 15 jutaan penduduk. Ini baru satu buta yang kemudian coba diselesaikan dengan Kejar Paket.

Kalau sudah bisa sedikit baca-tulis, berarti harus ada yang ditulis dan dibaca biar lancar dan makin pinter. A-I-U-E-O bisa dilatih dari sobekan koran, tapi untuk yang bikin pinter? Buku-buku pengetahuan sudah banyak dibuatkan oleh penerbit-penerbit dengan niat baik, demi mencerdaskan bangsa, jaréné....
Lalu di suatu waktu BBM naik, ongkos produksi jelas ikut naik, apa penerbit trus mau rugi demi niat baik? Lha rahayat yang baru mau mulai belajar pinter, wajar saja kalau lantas banyak yang kehilangan percaya diri.

Sekarang pamong negeri ini sudah membeli paten buku pelajaran terus diaplot di website, bagus banget buat anak sekolahan. Lha tapi lagi, siapa saja yang mampu warnetan, donlot, terus mbaca itu buku pelajaran? Kalopun niatan menggratiskan buku pelajaran digital itu adalah untuk para penerbit gurem yang tersebar di daerah-daerah, maksutnya biar bisa memangkas lagi ongkos produksi. Iya, sip itu. Tapi balik lagi, harga kertasnya ternyata masih lebih mahal, dul.

Cerita soal kertas mahal itu, bisa jadi bukan hanya soal BBM dan ongkos cetak. Dalam pikiran saya, jangan-jangan karena pemakaian kertas terlalu banyak atau malah pabrik terlalu sedikit bikin kertas.

Satu, mengingat adabnya orang pinter di negeri ini masih lebih umum menuntut kertas warna putih dengan ukuran kuarto atau A4, ukuran font 12, diketik 2 spasi atau 1,5, margin kiri-kanan, atas-bawah, dan seterusnya. Bikin laporan atau skripsi yang isinya sampah jadi terlihat tebal dan meyakinkan, nggak peduli rakus kertas.
Kalau begitu, kenapa tidak pakai kertas daur ulang saja?
Kalau dari warna, memang kertas daur ulang yang warnanya kebanyakan putih tuwa itu, bisa jadi dianggap nggak patut. Kecuali bagi yang mau unjuk diri "peduli lingkungan", atau bikin undangan biar lebih nggaya. Dan selain itu ternyata, yang kluwuk itu harganya lebih mahal. Dari situ saja sudah jelas pilihan jatuh ke mana. Murah tur kétok apik is the best!

Yang kedua mungkin tak ada masalah seandainya, seandainya lho, ya? Orang pinter sudah mau efisien dan bijak dengan ngirit kertas, lalu konsumsi kertas bisa ditekan, maka kasus bubar. Nha, kalau jebul soalnya adalah bahan pembuat kertasnya yang tetap kurang? Ya, urusannya jadi tambah panjang.

Kertas, kalau di negeri ini, kebanyakan dibikin dari kayu yang dicacah atau digiling, lalu dibikin bubur, dicampuri bumbu, trus didlèdèkkan ke gilesan sehingga jadi tipis, putih dan panjang.
Nha, menurut dongèngan tukang kipas-kipas, kayu nèng alas kuwi wis entèk diuntal buta mata ijo, sebagian untuk bikin perabot, sebagian lagi dibikin kertas.

Saya ajak sampeyan itung-itungan sedikit; 1 ton kertas, yang paling gampang dibayangkan kertas koran sajalah, bahan bikinnya pohon yang tingginya sekitar 12,4 meter dengan diameter batang 15-20 sentimeter, dan kira-kira ngebrukké 12-an pohon. Kalo misalnya satu buku beratnya 300 gram, kertas satu ton itu kan baru jadi buku bacaan 3.333 eksemplar.

Itu baru kertas koran, kalau kertas tulis satu ton konon nguntal 24 pohon. Apa nggak kaing-kaing itu sodara-sodara penyayang pohon? Padahal kalau nurutin pabriknya, setahun itu sekitar 5,6 juta ton kertas dihasilkan dari ulegan 140 juta batang pohon. Modiar ora...
Lalu kalau pohon-pohon hutan habis, ada yang banjir lah, pemanasan global lah, flora fauna punah lah, ini lah, itu lah....

Lha terus, piyé?

Kok jan rekasa tenan jadi orang Indonesia. Mau jadi pinter nggak bisa sebab kéré, mau maksain pinter lha kok dadiné tambah kéré, padahal yang bikin nggak makmur-makmur itu sebab bodho. Apa nggak ngenes kalau yang begini ini dibilang bangsa merdeka? Sudah bodho, kéré sisan.
Mungkin betul juga kalau dibilang warga negeri ini masih dijajah, mangkanya tetep dibikin bodho sekaligus kéré, lebih gampang ditipu. Lebih sakit lagi kalau ternyata yang menjajah jebul duluré dhéwé. Dari rakyat - oleh rakyat - untuk rakyat lah.... taingasu lah.

Kéré, bodho dan kéré banget itu pilihan macam apa, coba? Perumpamaan "makan buah simalakama" tentunya jadi tidak klop lagi, pilihannya saja sudah lebih dari dua. Mungkin lebih cocok "bagaikan menyentil buah zakar": sentil kanan mules, sentil kiri mules, sentil ditengahnya mak sengkring juga.

Soal "lha terus piyé" itu, ternyata bisa disederhanakan dengan laku oleh orang-orang yang menurut saya sangat pinter, meskipun tetap kéré, yang secara gerombolan punya niat baik ngajak pinter orang lain.
Ada yang dengan cara mengetikkan ulang buku cetakan agar bisa juga dibaca oleh sodara-sodari yang tunanetra, ada juga yang ngumpulin buku hibahan, terus dibagi-bagi lagi di tempat lain yang perlu.
Bisa bikin pinter orang lain, biaya lebih murah, tentu juga belarasa bagi para penyayang pohon.... Ayo merdeka...!

catatan: saya ngangkut itungan dari tetangga

14 Agustus 2008

Kulakan di Lorong Gerbong

Minggu lalu, pasnya Kamis malam, saya nyéngklak kereta Tawang Jaya. Terlambat setengah jam, nggak terlalu lama untuk segerombolan niat. Tujuan Semarang nggak terlalu padat. Angin pesing belum lewat-lewat, isi kemih penumpang belum tumpah lalu nylèprèt di bolongan toilet dan sekitarnya.

Sepanjang rel Pasarsenen-Poncol gojègan kéré bersama gerombolan lajang jadi-jadian, bikin perjalanan tak terasa melelahkan. Semuanya jadi ringan, ditambah lagi rombongan pengasong yang tak kalah meriah. Menciptakan pasar lorong gerbong yang langsung dimulai begitu sepur melaju dan penumpang menata duduknya, tanpa perlu upacara pengguntingan pita atau pelemparan batu pertama. Biar pengasong partikelir maupun pengasong negeri, lanang atawa wadon sigra beraksi bersaing bebas menemukan pembeli.

"Panda, panda, mbak...." tak peduli di tangannya ada koala, buaya, kura-kura dan boneka wanita. Atau, "Telor asin, ndhog asin, empat lima ribu asin tenan...." dan seterusnya bergantian bunyi dengan rokok, permen, kopi, susu, tahu, kacang dan seterusnya.
Pengasong negeri bagian nasi tak kalah aksi, sambil membawa misi GEREPEH (Gerakan Episiensi dan Hemat Energi), menerapkan teknik menjual sekaligus penghematan bahan bakar nasi dengan mengurangi emisi abab: monthak-manthuk sambil gemremeng "gorèng? rames?".

Berhenti di Cikampek, pas jam sebelas malam, pasar lorong gerbong makin ramai. Penjaja tak ambil pusing dengan dua polisi kerempeng berkalung senapan yang bergerak laju menuju gerbong paling belakang. Lain dengan kereta kelas eksekutif, jangankan berani masuk gerbong, pengasong yang kedapatan berlama-lama di bordes saja sudah bisa kena sepak pak polisi chusus. Penumpang di kereta ekonomi ini memang diberikan fasilitas lebih. Lebih ramai dan lebih betah melèk.

Tak lama kemudian, tukang cabik karcis dan polisi bersatu padu menowel penumpang satu-persatu. Saya siapkan karcis lima potong, biar nggak perlu ditowel kondektur penakut berbadan besar dan berkumis mekar. Saya tengok pengawalnya, kini bedhil pak pulisi dikeloni di depan, mungkin bèn kétok sangar seperti rambo.
Lama mereka nyangkut di bangku belakang saya, udur soal bayaran. Si penumpang juga nggak kalah ngèyèl, entah tiketnya memang beneran ilang atau memang mau sengaja ngemplang. Bedhil sarimbit rupanya mengangkat wibawa pak kondektur dan mengandaskan niat damai si penumpang. Punggawa yang biasanya makan mel-melan, kini berani menggebuk dua kali harga tiket.

Di belakang para punggawa itu, pak tua dengan topi dimiringkan lantang menawarkan sebendel koran. Bukan koran baru, tapi koran bekas dengan harga setengah koran hari ini yang sudah kadaluwarsa.
"Koran, koran. Koran gelaran limaratus. Gelaran, gelaran... Tidur sama inul gopek...." Saya ngakak. Penumpang yang barusan èyèl-èyèlan sama kondektur, juga tak mau kalah ngakak. Hilang sudah kerut di jidatnya.

Berikutnya, pengasong negeri bagian bantal, jalan di lorong gerbong memeluk bantal sambil mengucap "bantal? bantal?", tak kalah ngirit. Kalau ditanya, "berapa?", baru menjawab singkat, "duaribu-maratus.", sudah.
Saya rasan-rasan sama istri, "Hèlèh, bantal nggak mau kalah sama BBM, sewanya ikutan naik."
Baru sebulan lalu kami berdua naik kereta bisnis dari Solo ke Bandung, nyewa bantal cuma seribu-maratus, kini di kereta ekonomi sewanya sudah duaribu-maratus.
Atau mungkin juga urusan sewa bantal begini juga pakai subsidi silang, ya? Yang tiketnya agak mahal, sewa bantal harus lebih murah, sedangkan yang tiketnya murah, sewa bantal boleh dibikin lebih mahal. He-he-he...

Tengah malam kurang setengah jam, kereta sudah berhenti lagi di Pegaden Baru. Kereta berkasta rendah begini memang diwajibkan lebih sering berhenti. Menunggu kereta yang lebih mahal lewat duluan atau simpangan dari depan. Jadi kalau urusan telat, boleh lebih lamaan.... He-he-he..., begitulah, kere dilarang komplen.