19 Desember 2008

Mlebu-Metu=Keseimbangan


Wis, ayo, ndang ditokne!
Mosok gak seimbang, mlebu thok gak metu-metu....?

Eh, ditokne trus dibawa ke mana, pren?

Kalo mau koleksi cukuplah satu atau dua saja, sisanya biar dipake merdeka.

26 November 2008

Jangan Memberi Makan Monyet....!

Iya. Stop. Jangan lagi memberi makan monyet, terutama monyet-monyet di ujung Kali Angke sana. Mereka ngumpul di dalam area perlindungan milik negara, bernama Suaka Margasatwa Muara Angke di Jakarta Utara. Di situ saja, nggak bisa ke mana-mana, kecepit rumah-rumah hebat dan gedung-gedung apartemen milik para keturunan monyet yang durhaka. Kini area jelajahnya tinggal hutan bakau seluas 25 hektare, sebab hutan bakau yang lain sudah diurug dijadikan rumah mewah Pantai Indah Kapuk atau PKI. eh... PIK.

Mereka kelihatan asik nongkrong di pinggiran kali, bercengkerama dengan riang. Dan saya nggak ikutan, karena tongkrongan mereka eksklusif, cuma untuk para munyuk. Nggak tau kalau sampeyan yang ikutan, siapa tau boleh...

Sesekali monyet-monyet itu mencomot apa yang lewat menghilir, lalu dimakan. Woah, berarti banyak buah-buahan hanyut di Kali Angke dong? Ya jelas enggak. Itu sampah sodara-sodara... Sampah yang digelontorkan dari hulu bersama air bacin. Tapi memang kétok yèn huénak tenan, rèk...

Jadi, di Jakarta mungkin cerita kunyuk makan pisang sudah tak begitu laku lagi, karena kini sudah ada diversifikasi makanan, yang nampaknya lebih nikmat dan lebih ringan usahanya. Nggak perlu lagi manjat-manjat dan bergelayutan dari pohon ke pohon.

Kali Angke sendiri nyaris mampus akibat bagian hulunya menyempit kena proyek "entah apa", sehingga hilang energi untuk mendorong air hingga ke muaranya. Airnya jadi hitam pekat seperti comberan raksasa megah berdinding beton. Mendekat ke muara, warna air lebih terang hingga mendekati coklat, limpahan dari Banjir Kanal Barat yang disodetkan ke ujung Kali Angke. Kira-kira setiap jam lima sore rombongan air yang lebih banyak tiba di ujung sodetan, satu jam perjalanan sejak pintu air Manggarai dibuka. Sebagian langsung ke kanan menuju muara, sebagian lagi berbelok ke kiri menghulu Kali Angke. Air Kali Angke yang semula hitam pekat itu lantas terencerkan menjadi hitam muda. 

Berbagai macam sampah tentu tinggal nebeng saja bersama aliran air kemana pun arahnya. Mulai dari sampah industri, sampah pasar, sampah rumah tangga, juga sekalian sampah metabolisme, tumplek bleg kena sentor massal.

Yang pasti, sampah-sampah itu nggak mungkin nyemplung sendiri ke kali. Dan embuh, si munyuk itu lalu mungut dan nguntal sampah yang mana....

24 Oktober 2008

Mister Jon, Mister Jon....

"Ada londo ngamuk! Datang-datang, langsung gedor-gedor pintu sambil teriak-teriak...."
"Bajirut. Penjajah di depan mata! Merdeka atau mati!"

Ooo salah..., jebul londo sedang kebelet. Sepertinya memang sudah muntup-muntup sehingga hilang tatakramanya dan jadinya seakan-akan ngajak gelut.
Ndak jadi emosi... Lebih utama kesehatan daripada kesopanan,...

Lha namun..., kebetulan di kamar mandi ada kawan sedang asyik jebar-jebur ditingkahi bunyi grojogan air dari kran. Entah memang yang di dalam ndak dengar, atau lagi tanggung, atau sok kul akibat dingin tenanan kena guyur air mBogor, jebar-jebur lanjut terus.

"Get-ot! get-ot!" ...wé lha, kok makin kalap...?

Kawan saya yang sedang menata lapak lantas tergerak hatinya untuk urun gedor, sambil berseru memanggil kawan yang sedang di dalam kamar mandi. Bagaimana tidak iba, mendengar raungan londo kapiran itu, yang bahkan hampir nekat melepaskan hajatnya di emper belakang.

Untunglah pintu segera mbukak mak byak, kawan keluar dari kamar mandi dengan muka segar. Tentu kontras dengan rainé mas londo yang sumringah lega campur nahan kontraksi otot dubur bèn ora dhol yang bisa berakibat muatannya mbrojol. Kini mas londo dengan lincah ambil kendali kamar mandi.

Eéé, lha londo édan... pintu belum ditutup, sudah ndhodhok di wc jongkok. Ya sudah, wis bèn, daripada nanti kalau ditegur suruh nutup pintu malah nylèprèt ke mana-mana. Ngalah bocah-bocah... inlander menyingkir. Mambu, ndhès!

Kisah kawan yang baru selesai mandi dan sedang berpakaian di sekitar kamar mandi, mas londo masih melanjutkan seruan perjuangannya dengan lantang, "aahh, uhhh, ohhh, ekkk, brrott..., dst..."

Tak berapa lama, mas londo sudah muncul lagi, hajatnya sudah selesai rupanya. Tapi kali ini dia minta tisu.
Kawan saya yang sudah kelar berdandan, dengan sigap meluncur ke dapur, menyambar dan hendak menyodorkan serbet. Tak kalah cepat, kawan satunya menghadang, "Ndang, tukokné tisu!"

Woh, semprul, londo kopèt! sudah kathokan, wira-wiri, jebul belum céwok.

Kalau sempat serbet yang dipakai tadi, apa ya ndak baret-baret itu lubang kena upa garing (butir nasi kering) sisa kemaren yang nempel di situ?
Apes lagi kalau di warung ndak ada tisu, lalu warung lain jauh. Bisa-bisa garing di tempat... ndak perlu lagi godhong pring, Mister Jon....

Jadi, kalau sampeyan cara ngisingnya cara londo, jangan lupa ngantongi tisu sendiri... Masih untung disodori serbet, lha kalau kain pel atau malah keset.... Piyé jal?

16 Agustus 2008

merdeka atau kere? atau bodho? atau kere banget?

Masih ingat tulisan B3B yang entah mulai kapan itu dicatkan di genteng-genteng rumah warga? Bebas tiga buta: buta aksara dan angka, buta bahasa Indonesia, dan buta ilmu pengetahuan dasar. Saya merasa, semakin ke sini, kebebasan itu kok semakin sulit, ya? Sekolahan pada rontok, kekurangan guru, bersekolah biayanya mahal, sementara penduduknya nggak mungkin disuruh brenti manak.
Kalau kata pamong negeri yang ngurusi bagian meteng-manak-menyusui, anak usia 7-15 tahun yang tidak sekolah hampir 4 juta anak, sedangkan yang buta huruf di atas usia 15 tahun ada 15 jutaan penduduk. Ini baru satu buta yang kemudian coba diselesaikan dengan Kejar Paket.

Kalau sudah bisa sedikit baca-tulis, berarti harus ada yang ditulis dan dibaca biar lancar dan makin pinter. A-I-U-E-O bisa dilatih dari sobekan koran, tapi untuk yang bikin pinter? Buku-buku pengetahuan sudah banyak dibuatkan oleh penerbit-penerbit dengan niat baik, demi mencerdaskan bangsa, jaréné....
Lalu di suatu waktu BBM naik, ongkos produksi jelas ikut naik, apa penerbit trus mau rugi demi niat baik? Lha rahayat yang baru mau mulai belajar pinter, wajar saja kalau lantas banyak yang kehilangan percaya diri.

Sekarang pamong negeri ini sudah membeli paten buku pelajaran terus diaplot di website, bagus banget buat anak sekolahan. Lha tapi lagi, siapa saja yang mampu warnetan, donlot, terus mbaca itu buku pelajaran? Kalopun niatan menggratiskan buku pelajaran digital itu adalah untuk para penerbit gurem yang tersebar di daerah-daerah, maksutnya biar bisa memangkas lagi ongkos produksi. Iya, sip itu. Tapi balik lagi, harga kertasnya ternyata masih lebih mahal, dul.

Cerita soal kertas mahal itu, bisa jadi bukan hanya soal BBM dan ongkos cetak. Dalam pikiran saya, jangan-jangan karena pemakaian kertas terlalu banyak atau malah pabrik terlalu sedikit bikin kertas.

Satu, mengingat adabnya orang pinter di negeri ini masih lebih umum menuntut kertas warna putih dengan ukuran kuarto atau A4, ukuran font 12, diketik 2 spasi atau 1,5, margin kiri-kanan, atas-bawah, dan seterusnya. Bikin laporan atau skripsi yang isinya sampah jadi terlihat tebal dan meyakinkan, nggak peduli rakus kertas.
Kalau begitu, kenapa tidak pakai kertas daur ulang saja?
Kalau dari warna, memang kertas daur ulang yang warnanya kebanyakan putih tuwa itu, bisa jadi dianggap nggak patut. Kecuali bagi yang mau unjuk diri "peduli lingkungan", atau bikin undangan biar lebih nggaya. Dan selain itu ternyata, yang kluwuk itu harganya lebih mahal. Dari situ saja sudah jelas pilihan jatuh ke mana. Murah tur kétok apik is the best!

Yang kedua mungkin tak ada masalah seandainya, seandainya lho, ya? Orang pinter sudah mau efisien dan bijak dengan ngirit kertas, lalu konsumsi kertas bisa ditekan, maka kasus bubar. Nha, kalau jebul soalnya adalah bahan pembuat kertasnya yang tetap kurang? Ya, urusannya jadi tambah panjang.

Kertas, kalau di negeri ini, kebanyakan dibikin dari kayu yang dicacah atau digiling, lalu dibikin bubur, dicampuri bumbu, trus didlèdèkkan ke gilesan sehingga jadi tipis, putih dan panjang.
Nha, menurut dongèngan tukang kipas-kipas, kayu nèng alas kuwi wis entèk diuntal buta mata ijo, sebagian untuk bikin perabot, sebagian lagi dibikin kertas.

Saya ajak sampeyan itung-itungan sedikit; 1 ton kertas, yang paling gampang dibayangkan kertas koran sajalah, bahan bikinnya pohon yang tingginya sekitar 12,4 meter dengan diameter batang 15-20 sentimeter, dan kira-kira ngebrukké 12-an pohon. Kalo misalnya satu buku beratnya 300 gram, kertas satu ton itu kan baru jadi buku bacaan 3.333 eksemplar.

Itu baru kertas koran, kalau kertas tulis satu ton konon nguntal 24 pohon. Apa nggak kaing-kaing itu sodara-sodara penyayang pohon? Padahal kalau nurutin pabriknya, setahun itu sekitar 5,6 juta ton kertas dihasilkan dari ulegan 140 juta batang pohon. Modiar ora...
Lalu kalau pohon-pohon hutan habis, ada yang banjir lah, pemanasan global lah, flora fauna punah lah, ini lah, itu lah....

Lha terus, piyé?

Kok jan rekasa tenan jadi orang Indonesia. Mau jadi pinter nggak bisa sebab kéré, mau maksain pinter lha kok dadiné tambah kéré, padahal yang bikin nggak makmur-makmur itu sebab bodho. Apa nggak ngenes kalau yang begini ini dibilang bangsa merdeka? Sudah bodho, kéré sisan.
Mungkin betul juga kalau dibilang warga negeri ini masih dijajah, mangkanya tetep dibikin bodho sekaligus kéré, lebih gampang ditipu. Lebih sakit lagi kalau ternyata yang menjajah jebul duluré dhéwé. Dari rakyat - oleh rakyat - untuk rakyat lah.... taingasu lah.

Kéré, bodho dan kéré banget itu pilihan macam apa, coba? Perumpamaan "makan buah simalakama" tentunya jadi tidak klop lagi, pilihannya saja sudah lebih dari dua. Mungkin lebih cocok "bagaikan menyentil buah zakar": sentil kanan mules, sentil kiri mules, sentil ditengahnya mak sengkring juga.

Soal "lha terus piyé" itu, ternyata bisa disederhanakan dengan laku oleh orang-orang yang menurut saya sangat pinter, meskipun tetap kéré, yang secara gerombolan punya niat baik ngajak pinter orang lain.
Ada yang dengan cara mengetikkan ulang buku cetakan agar bisa juga dibaca oleh sodara-sodari yang tunanetra, ada juga yang ngumpulin buku hibahan, terus dibagi-bagi lagi di tempat lain yang perlu.
Bisa bikin pinter orang lain, biaya lebih murah, tentu juga belarasa bagi para penyayang pohon.... Ayo merdeka...!

catatan: saya ngangkut itungan dari tetangga

14 Agustus 2008

Kulakan di Lorong Gerbong

Minggu lalu, pasnya Kamis malam, saya nyéngklak kereta Tawang Jaya. Terlambat setengah jam, nggak terlalu lama untuk segerombolan niat. Tujuan Semarang nggak terlalu padat. Angin pesing belum lewat-lewat, isi kemih penumpang belum tumpah lalu nylèprèt di bolongan toilet dan sekitarnya.

Sepanjang rel Pasarsenen-Poncol gojègan kéré bersama gerombolan lajang jadi-jadian, bikin perjalanan tak terasa melelahkan. Semuanya jadi ringan, ditambah lagi rombongan pengasong yang tak kalah meriah. Menciptakan pasar lorong gerbong yang langsung dimulai begitu sepur melaju dan penumpang menata duduknya, tanpa perlu upacara pengguntingan pita atau pelemparan batu pertama. Biar pengasong partikelir maupun pengasong negeri, lanang atawa wadon sigra beraksi bersaing bebas menemukan pembeli.

"Panda, panda, mbak...." tak peduli di tangannya ada koala, buaya, kura-kura dan boneka wanita. Atau, "Telor asin, ndhog asin, empat lima ribu asin tenan...." dan seterusnya bergantian bunyi dengan rokok, permen, kopi, susu, tahu, kacang dan seterusnya.
Pengasong negeri bagian nasi tak kalah aksi, sambil membawa misi GEREPEH (Gerakan Episiensi dan Hemat Energi), menerapkan teknik menjual sekaligus penghematan bahan bakar nasi dengan mengurangi emisi abab: monthak-manthuk sambil gemremeng "gorèng? rames?".

Berhenti di Cikampek, pas jam sebelas malam, pasar lorong gerbong makin ramai. Penjaja tak ambil pusing dengan dua polisi kerempeng berkalung senapan yang bergerak laju menuju gerbong paling belakang. Lain dengan kereta kelas eksekutif, jangankan berani masuk gerbong, pengasong yang kedapatan berlama-lama di bordes saja sudah bisa kena sepak pak polisi chusus. Penumpang di kereta ekonomi ini memang diberikan fasilitas lebih. Lebih ramai dan lebih betah melèk.

Tak lama kemudian, tukang cabik karcis dan polisi bersatu padu menowel penumpang satu-persatu. Saya siapkan karcis lima potong, biar nggak perlu ditowel kondektur penakut berbadan besar dan berkumis mekar. Saya tengok pengawalnya, kini bedhil pak pulisi dikeloni di depan, mungkin bèn kétok sangar seperti rambo.
Lama mereka nyangkut di bangku belakang saya, udur soal bayaran. Si penumpang juga nggak kalah ngèyèl, entah tiketnya memang beneran ilang atau memang mau sengaja ngemplang. Bedhil sarimbit rupanya mengangkat wibawa pak kondektur dan mengandaskan niat damai si penumpang. Punggawa yang biasanya makan mel-melan, kini berani menggebuk dua kali harga tiket.

Di belakang para punggawa itu, pak tua dengan topi dimiringkan lantang menawarkan sebendel koran. Bukan koran baru, tapi koran bekas dengan harga setengah koran hari ini yang sudah kadaluwarsa.
"Koran, koran. Koran gelaran limaratus. Gelaran, gelaran... Tidur sama inul gopek...." Saya ngakak. Penumpang yang barusan èyèl-èyèlan sama kondektur, juga tak mau kalah ngakak. Hilang sudah kerut di jidatnya.

Berikutnya, pengasong negeri bagian bantal, jalan di lorong gerbong memeluk bantal sambil mengucap "bantal? bantal?", tak kalah ngirit. Kalau ditanya, "berapa?", baru menjawab singkat, "duaribu-maratus.", sudah.
Saya rasan-rasan sama istri, "Hèlèh, bantal nggak mau kalah sama BBM, sewanya ikutan naik."
Baru sebulan lalu kami berdua naik kereta bisnis dari Solo ke Bandung, nyewa bantal cuma seribu-maratus, kini di kereta ekonomi sewanya sudah duaribu-maratus.
Atau mungkin juga urusan sewa bantal begini juga pakai subsidi silang, ya? Yang tiketnya agak mahal, sewa bantal harus lebih murah, sedangkan yang tiketnya murah, sewa bantal boleh dibikin lebih mahal. He-he-he...

Tengah malam kurang setengah jam, kereta sudah berhenti lagi di Pegaden Baru. Kereta berkasta rendah begini memang diwajibkan lebih sering berhenti. Menunggu kereta yang lebih mahal lewat duluan atau simpangan dari depan. Jadi kalau urusan telat, boleh lebih lamaan.... He-he-he..., begitulah, kere dilarang komplen.

22 Juli 2008

Banjir blum tiba, banjir kan tiba, hatiku blablabla...

Banjir adalah sebuah bencana. Sebagian orang mengkoar-koarkan itu sebagai bencana alam, tetapi saya lebih percaya itu bencana kelakuan. Sebagai sebuah ras, kelakuan manusia akan berakibat pada manusia juga, siapa menanam dia akan menuai. Sayangnya, rumus penanam samadengan penuai ini seringkali tidak berlaku pada manusia secara pribadi. Pribadi manusia yang penuh akal (bulus) dan pikiran (kotor).

Alih-alih membalas apa yang manusia lakukan kepadanya tatkala merongrong keseimbangannya, dia malah asyik dengan dirinya sendiri berproses untuk kembali ke titik seimbang. Kalau manusia kena imbasnya bukan salahnya, kan?

Mengandaikan diri bisa belajar tentang keseimbangan alam, mungkin kata mutiara "mencegah lebih baik dari mengobati" bisa dipraktikkan. Saya adalah orang yang optimis. Waktu ini kemarau sudah bergulir, saya yakin banjir akan segera menyusul ketika musim berganti. Dan sebagai makhluk sosial, yang katanya peduli dengan sesama, kira-kira apa yang bisa kita kerjakan?

Jika banjir belum datang, pikirkan beberapa hal berikut, lalu cobalah lakukan:

  1. Salah satu faktor penyebab banjir adalah curah hujan yang berlebihan. Jadi perdalam dan sebarluaskan ilmu Anda sebagai pawang hujan. Jika sudah terbentuk jaringan pawang, biarkan hujan seperlunya lalu bisa digiring secara estafet langsung ke laut.
  2. Kurangi sebanyak-banyaknya menebangi pohon. Selain untuk menambah resapan air, bisa digunakan untuk membangun rumah pohon kalau banjir sudah telanjur datang. Dan jika Anda punya banyak teman jin, minta tolonglah agar dia mau menempati setiap pohon. Karena banyak orang lebih percaya yang mistis-mistis daripada himbauan untuk tidak menebangi pohon sembarangan.
  3. Proaktif menggalakkan kebiasaan menanam pohon. Tapi jangan menggalakkan kirik, karena kirik biasanya pintar berenang dan bisa berbahaya untuk pelampung Anda. Sekali tergigit kirik galak, Anda pun turut tenggelam.
  4. Kurangi kesukaan memblok halaman rumah Anda dengan beton, karena menghalangi peresapan air ke dalam tanah. Sekali-sekali gantilah dengan pelok, ponggé, kenthos, klungsu, kecik atau klentheng.
  5. Mengeruk dasar selokan, jangan cuma mengeruk kas negara. Sekaligus menyalurkan hobi mèmèt, murah meriah dan paling banter keluar ongkos untuk beli obat cacing.
  6. Dampak pemanasan global adalah mencairnya es di kutub, sehingga air laut bisa naik ke daratan. Silakan kurangi percepatan efek rumah kaca dengan menggunakan kendaraan bermotor seperlunya. Atau jika Anda PNS, usahakan mangkir dari senam sehat setiap jumat pagi. Kalau mau nekat karena takut kena sanksi, ya cukup tidak ikut pemanasan, pura-pura buang air besar saja.
  7. Buanglah sampah di tempat sampah, apalagi sampah plastik, stirofom atau kaleng. Karena tanah tidak mampu mencernanya dalam hitungan ratus tahun. Tanah jadi padat (tapi tidak singset) dan sukar meresapkan air. Kecuali Anda mau mengunyahkan dan mencernakannya terlebih dahulu, silakan saja...

Tetapi jika banjir kiriman tlah tiba:
  1. Ambil sisi baiknya. Terima saja, jangan lupa bubuhkan tanda tangan dan ucapkan terima kasih.
  2. Jika Anda tinggal di daerah hulu dan banjir sudah datang, gunakan kentongan untuk memberikan peringatan dini kepada masyarakat di hilir. Jangan hanya menggunakan kentongan untuk menggropyok dan memperbanyak jumlah pernikahan dini. Peringatan dini dimaksudkan untuk menghindarkan basah, sedangkan pernikahan dini mungkin lebih banyak karena ketangkap basah.
  3. Perbaiki genteng rumah Anda sekarang. Tidak perlu pinjam tangga dari rumah tetangga, cukup dengan ban mobil bagian dalam, toh mobil sedang tidak dipakai, dan sekalian saja belajar berenang atau mencari ikan.
  4. Siapkan jaring dan panggangan. Ikan-ikan dari empang tetangga tentu sudah go public, dan siap jadi hidangan nikmat di atas genteng rumah Anda.
  5. Jangan terlena, Anda harus tetap segera mengatasi banjir, karena jika Anda membawahi banjir, itu namanya slulup. Kecuali Anda memang sedang tersesat dan mencari tahu nama jalan yang sudah tenggelam.
Dan kepada manusia-manusia yang telah menyebabkan tanpa menerima akibat: "Sampéyan itu memang coro. Coroné pol!"

keterangan:
* judul diadaptasi dari nyanyian "Libur Tlah Tiba" oleh Tasya.
- Meski banjir itu betul-betul membosankan dan tak sudah-sudah,
dan meski postingan ini miskin gambar, saya tetap ngèyèl.

14 Juli 2008

Hujan baunya (kadang) wangi

Jumat, 11 Juli 2008.
Aku kebut sepeda motor pinjaman. Pulang, menyisihkan pakaian dari hadapan langit sebelum kembali tersiram.

Hari ini hujan. Tanah panas sedang dilumat basah, menguarkan uap, debu teredam. Aromanya sedap. Tercurah pada pukul empat sore di sini, tidak dihitung musim hujan. Hujan di saat orang berangkat bekerja, barulah disebut musim hujan.

Konon, kelakar kawan, tadi siang dia tidak melewatkan Jumatan. Jadi jangan lengah, katanya, siapkan payung bila bepergian, segera pulang jika ada jemuran.

Hujan memang cuma sebentar, meskipun bijih air besar-besar.
Ciliwung tak akan meluap, karena di atas tanah air segera teresap.

Di emperan, saya renungi tetesannya sambil memandangi sawah jadi-jadian, bikinan seorang kawan. Katanya, sekadar pengingat dari mana dia datang.
Padi sudah dijajarkan, belut sudah membuat liang, sebelas ekor wader hasil pancingan saya juga sudah numpang berenang-renang.
Kiambang terapung tenang, meneruskan setiap tetes air yang jatuh di permukaan daunnya. Dia enggan basah. Hujan tetap jatuh, tak peduli jika ada yang menghindar, menangkis atau menyambutnya senang.

Kalau saja sepotong hujan ini bisa dipindahkan,
Ke negeri sebelah, dimana air adalah harapan,
Mungkin sampeyan bisa turut membayangkan,
Padi-padinya menangguk kesegaran,

Di negeri tetangga...
   Pak tani isa mèlu nyicil ayem,
   Wis wanciné tandur, méga nèng langit mbegegeg amem,
   Andum rasa andum begja guyub dedonga, ngluru tentrem,
   Udan kaping pisan, panguwuh sigra sidhem,
   Udan kaping pindho, pangarep-arep tuwuh ngrembaka,
   Udan kaping telu, ngrembuyung mongkog ing rasa mulya,
   Udan kaping pat, wiwit ndeder panjangka,
   Udan makaping-kaping, ndremimil lambé memuja,
      .....mugi tinebihna kawula saking pralaya.....

musim kemarau, padi nggak terairi,
musim hujan, padi hanyut disapu bandang,
hujan badai, padi roboh porak-poranda,
hama datang, nggak beda dengan kelakuan manusia,
   nakji nakbèh, manak siji manak kabèh,
   tikus manak, galengan padha growong, lumbung ra komanan gabah,
   walang manak, godhong padha gripis, pariné gabug-gabug,
   rega-rega manak, ra kuwat nyemprot ra kuwat mupuk,
        .....pak tani bu tani ra wani mèlu manak....

keterangan gambar: dijepret sehari sebelumnya pas soréné padhang.

10 Juli 2008

Jebul aku sugihé pol!

Cangkemku jan kecut. Nagih udud. Rumangsaku aku isih duwé selembar limang èwunan, lumayan isa dadi setengah bungkus, isih turah sèwu. Sak sisih kiwa-tengen dak rogohi, blas ora ana dhuwité serepis-repisa. Sajaké kèri ana ngomah. Ésuk mau umbah-umbah clana, isi sak wis dak tokné kabeh, dak sèlèh ana ndhuwur rak. Woo, apes, kèri tenan... marahi sangsaya kecut waé...
Tumpukan buku lan kertas-kertas nèng ndhuwur méja dak biyaki, mbokmenawa ana sèwu-rong èwu sing nylempit. Ora ana.
Laci tak bukak, isiné mung perkakas tulis, obèng karo cuwil-cuwilan kertas bon.
Nginguk ngisor méja, mbokmenawa beja isa nemu kècèran. Aku mrèngès. Cèlèngan! Luwih prenahé blèk-blèkan. Lha wong wujudé dudu cèlèng, nanging blèk roti sing dimodifikasi dadi wadhah dhuwit krincing.

Ndang dak gèrèt metu, dak bukak tutupé... hé-hé-hé, isiné isih akèh!
Dak golèki dhisik krincing limangatusan, dak pilihi siji-siji. Durung genep cacah limalas, amarga gelem ora gelem weruh wujudé, suwé-suwé aku banjur ngematké gambaré, nganti angka tahun cétaké. Jebul béda-béda tahuné.
Sidané dak tumplak kabèh, dak deloki mbaka siji. Ana sèwunan, limangatusan , rongatusan, satusan, lan sèketan rupiah.

Sing sèwunan ana patang sèri tahun, angkané 1994, 1995, 1996 lan 2000, persis nèng ngisoré gambar Garuda Pancasila. Ing waliké gambaré padha kabèh: Kelapa Sawit.
Limangatusan ana nenem sèri, tahun 1992, 1997, 2000, 2001, 2002, lan 2003. Tahun 1992 béda dhéwé, gambar melathiné gedhé lan tulisan "Rp500" cilik ana ngisoré. Sing liyané angka 500-e sing gedhé nanging gambar melathiné cilik. Limangatusan sing warna putih blas ora ana.
Rongatusan warnané putih, aku mung nemu sèri 2003 thok, gambaré Jalak Bali.
Atusan ana rong warna kuning karo putih. Sing kuning ana pitung sèri, tahun 1992, 1993, 1994, 1995, 1996, 1997, lan 1998. Sing putih uga ana pitung sèri, tahun 1999, 2000, 2001, 2002, 2003, 2004, lan 2005.
Sing pungkasan sèketan rupiah ana sasèri, tahun 2002.

Nyawang dhuwit krincing sing pating slebar nèng ngarepku, lha kok malah marahi pikiranku nggrambyang.
Kamangka iki mung saka sa-blèk sing panggoné ndhelik nèng ngisor méja, umpama dhuwit krincing seindonesia dijèjèr-jèjèr kabèh ana pirang sèri, ya? Kira-kira ki ageng krincing bakul dhuwit isa paring wewarah ora, ya? Krincing sèwu ki katoné kok ora populèr, ya? Isih dicétak apa ora, ya? Pitakonku nggandhul ora ana sauré, dak tutugké mbatin dhéwé.
Yèn rongatusan kanggoku ya mung saba turut terminal, kanggo mbayar péron. Mulané luwih kerep mlebu sak tinimbang mlebu blèk, tur manèh aku ora tau éntuk rongatusan nganti akèh.
Luwih mesakné manèh sèketan karo selawénan, kanggo susuk waé wis mèh ora payu, luwih kerep diijoli permèn. Nèng blèk mung ana rong iji sèketan, sèriné padha lan sajaké entuké bareng. Mungkin susuk saka swalayan sing menjunjung tinggi slogan "money is money".
Béda karo limangatusan, apa manèh satusan. Satusan nganti patbelas sèri mlebu blèk, tur angkané urut, berarti pancen uakèh tenan dicétak. Katoné wiwit saka bakul-bakul nèng pasar, asongan, swalayan, mbayar angkot, nganti transaksi gedhèn-gedhènan isih nganggo atusan krincing. Yen limangatusan, paling sering aku ketemu kanggo susuk nèng warung. Ana ing blèk, limangatusan kuning isih akèh sing mlebu, nanging limangatusan putih ora ana blas. Mungkin amarga ènthèng, luwih kerep dak lebokaké sak, ora gondhal-gandhol, tur isa dinggo mbayar dendha. Dendha sing paling ora adil sadonya. Perkara nyekel manuk. Kamangka manuké ki manukku dhéwé...
Yen ngongkon wong liya sing nyekelké wis genah kudu mbayar, lha aku nyekeli dhéwé, jebul ya tetep kon mbayar....

Lho..., rak malah lali ta.... sik tak tuku udud sik. Ora baèn-baèn ki, sebungkus thik... :D

18 Juni 2008

Biyayakan di pinggir hutan

Biyayakan tidak ada hubungannya dengan kata biaya ataupun pembiayaan apalagi pembiakan, meskipun bunyinya mirip-mirip. Dudu! ini pure biyayakan dalam bahasa ibu saya. Mengandung sebuah maksud yang dicuplik sedikit-sedikit dari makna kata-kata berikut ini: kalang-kabut, tunggang-langgang, tergesa-gesa, lan sapituruté, lalu dijadikan satu.

Sudah? Sekarang saya mau cerita.
Bulan lalu saya pergi kulakan ke Kabupaten Pidie, Negeri Aceh sana. Rencananya mau menelusuri hutan dan pegunungan yang setengah perawan. Bergerak bersama 6 kawan, siap dengan perlengkapan dan perbekalan untuk 10 hari, ditemani 2 orang pawang hutan. Titik akhir perjalanan di Gunong Tutong dan Gunong Peut Sagoe dengan ketinggian 2.500-an meter di atas permukaan laut, akan kami tembus dalam 7 hari dan 2 hari lagi untuk jalan pulang. Mlebu ngalas, nyabrang kali, munggah gunung, kèmping... Jan, bikin ngiler sak awak membayangkan keasyikan yang bisa dilakukan nantinya.

Malam pertama dan ke dua, kami tidur di tepi sungai. Tempat yang sama, karena hari kedua itu Jumat, dan kebiasaan setempat Jumat berarti jeda aktivitas. Sayang, saya lupa membawa peralatan mancing... suepet pol. Satu hari dua malam nggamblèh thok di bawah rentangan tenda plastik. Ya sudahlah, saya ikut-ikutan saja memilin tali, yang kata salah satu pawang, akan dipakai menjerat rusa.

Proses membuatnya membuat saya cukup terhibur, tetapi membayangkan rusa terjerat, kok saya nggak tega. Padahal saya kan tega mancing ikan, ya? tapi piyé manèh, gawan bayi, jé...
Jerat didesain menggunakan dahan pohon sebagai tuas pelenting tali laso jerat. Pemicunya menggunakan rotan tali yang dianyam sedemikian rupa, yang bila diinjak oleh sang rusa akan memicu lentingan tuasnya.

Hari ke tiga, kami bolak-balik menyeberang sungai untuk mencari jalur yang bisa dilalui. Titik perhentian adalah lokasi transmigrasi SP- IV yang kini kosong. Dulu, penghuninya adalah orang-orang dari Jawa dan Madura yang terpaksa pulang kampung akibat konflik bersenjata di negeri ini. Kebun dan rumah-rumah ditinggalkan utuh, dijajah semak dan alang-alang. Nampak dari bekas tapak kaki dan kotorannya yang mrongkol-mrongkol di sekitar situ, perkampungan ini sering disinggahi gajah liar. Kata pak pawang, di lokasi trans tetangga yang sama lengang, seminggu sebelumnya terlihat gerombolan gajah sekitar 30 ekor sedang kongkow-kongkow. Blaik kalau sampai ketemu, bisa penyèt. Guedhi tenan. Lha sebutir prongkolan tainya saja segede ndhasku, jé...

Malam itu kami bakal istirahat di bawah atap betulan berbahan seng. Segala ubarampé segera disiapkan. Sebentar kemudian gerimis turun, tetapi kali ini ponco harus menunggu jatah beraksi di lain waktu. Habis makan malam, kami cerita-cerita sambil menggelar peta dan tutal-tutul GPS sambil pas-pus ngomprongi congor.

Lha ujug-ujug...
, seorang kawan berseru panik: "Mana Pak Rasyib, mana dia?"
Pak Rasyib itu salah satu pawang hutan pemandu tim kami. Dalam hati saya ngedumel, kenapa mesti ribut, pawang kan jagonya di hutan dan alam bebas, ya biarin aja...
Katanya tadi pamit buang air!
Namanya juga kebelet, trus kenapa?
Pakai sepatu, sarungan, bawa parang dan senter!
Lha, di antah-berantah yang gelap gini, kan wajar?
Tapi sudah lebih dari lima belas menit belum balik!
Kebebelen kakèhan sega campur mi kruwel, juga bisa...
Jangan-jangan kambuh lagi!
Haits, kambuh apa?!
Dia pernah sakit jiwa gara-gara dipukuli aparat di awal 90-an karena dituduh mencuri peralatan di lokasi pertambangan.
DHUENGG!
Lha blaik, amit-amit wong gendheng...!

Tak usahlah saya ceritakan adegan oyak-oyakan dengan orang sakit yang lari malam dalam hujan. Atau membaca jejak macam Old Shatterhand dan Winnetou, sambil trataban wedi didingkik orang sakit menyandang parang.

Paginya kami putuskan melanjutkan pengejaran sambil pulang untuk memastikan keberadaan si pawang sakit. Gas pol! Jarak tempuh dua hari kami babat sehari. Nafas saya sudah undlap-undlup, hidung saya megar-mingkup. Serta-merta ungkapan "biyayakan kaya dioyak setan" sudah tidak berlaku lagi, sudah saya ganti "biyayakan kaya ngoyak wong édan".

28 Maret 2008

Bon-bin: Bon Beraneka Bin

Selepas menikmati kontradiksi konservasi satwa dan ilmu pengetahuan di Gembira Loka, saya duduk-duduk di parkiran. Aneka jualan hilir mudik dipikul dan didorong, sebagian berhenti di keteduhan pohon. Makanan ringan semacam arum manis dan brondong, tentu saja siap dibawa. Mainan anak-anak seperti gangsingan, terjun payung, dan layangan mini berseliweran diperagakan penjualnya. Jenis mainan bersuara juga tak kalah ramai. Tak jauh beda dengan barang jualan pasar malam yang dulu kerap saya kunjungi di pabrik gula dekat rumah saya.

Satu orang penjual lewat di dekat saya, dia tidak berseru-seru menawarkan dagangannya, tetapi cuat-cuit nyaring. Iya, seperti burung. Di bahunya semampir rentengan plastik kemasan yang mirip kemasan kacang goreng atau bawang putih. Kecil-kecil tapi jumlahnya saya kira ratusan. Saya perhatikan, rupanya yang dijual memang sesuatu yang diemut di mulutnya, yang mengeluarkan cuat-cuit suara burung, aneka burung.

"Pripun carané, Pak?" saya mulai mencari tahu.
"Gampang, Mas. Didèlèh teng ndhuwur ilat, njur disebul mawon. Untuné ditetepké ngoten, bèn nikuné mboten mlayu," sambil mengekspos giginya pada posisi yang dia maksud.

Wééé, malah kaya jaran! Tapi, mendengar kata "nikuné", saya ikutan kaya jaran. Orang ini jualan tapi nggak tahu nama barang jualannya sendiri.

"Pintenan, Pak?"
"Mirah mawon'ok, Mas. Gangsalatusan."

Saya keluarkan uang seribu, beli dua.

"Cobi riyin, Mas. Mengké yen mboten muni, ampun kuwatir, kula ijoli."

Lima ratus rupiah, pakai garansi! mantap betul Bapak ini... Segera saya sobek bungkusnya. Mengikuti petunjuk yang diberikan, letakkan "nikuné" di atas lidah, katupkan gigi, tiupkan udara lewat mulut. Keluarlah bunyi cit-cuit-cuat-cuit. Mengatur bunyinya cukup dengan memainkan konfigurasi moncong.
Saya ucapkan terima kasih, dan penjual "nikuné" berlalu.

Sambil masih cuit-ciat-cit-cuit, saya pandangi satu lagi "nikuné" di tangan saya dan masih terbungkus plastik. Penasaran saya buka bungkusnya agar enak mengamatinya.

Prinsipnya, bunyi dihasilkan dari getaran membran yang disebabkan oleh aliran udara yang melewatinya, yang kemudian bunyi diperkuat oleh rongga mulut. Bahannya juga terlihat sederhana, hanya terdiri dari dua bagian. Rangka luar dan membran.

Rangkanya, terbuat dari kaleng bekas bagian luar batu baterai, dipotong bundar, dibuang bagian tengahnya, lalu dilipat simetris sehingga bisa menjepit membran. Dengan membran yang teregang, maka tiupan yang lembut saja sudah bisa menghasilkan bunyi cukup nyaring.

Membrannya, terdiri darr... eh, mem... HWASU!
Saya mengumpat seraya memuntahkan "nikuné" dari mulut saya...
Pengamatan saya menghasilkan kesimpulan dan pisuhan tak habis-habis berurut isi kerajaan binatang yang baru saja saya sambangi ...
Membran elastis yang tahan diregang terus-menerus, tetapi tipis dan transparan... ini bukan balon sebul! ...DIAMPUTT!! Entuk seka ngendi wong kuwi...!? BIAJINGUK!! PHUEHH...!

27 Maret 2008

Sesudah kawin

Sudah lama betul saya tidak menulisi halaman blog ini, dari yang tidak sengaja sampai yang disengaja.
Yang tidak sengaja, tentu saja menggunakan alasan tidak sempat (cuih...!), wira-wiri mengerjakan ini-itu, menyiapkan ini-itu, udur ini-itu, kawin begini-begitu, dan segala alasan lainnya.
Selama kurang lebih sebulan, mencocok-cocokkan keadaan setelah kawin. Pindah jalur dari belum menikah menjadi menikah (begitu yang tertulis di katepe), dari tidur solo menjadi kumpul kruntelan di ranjang (wis jelas sumuk tur kringeten tapi penak...), dari nginep di kantor berhari-hari menjadi ingat pulang, dan seterus-terusnya...

Sebelum tepat satu bulan, saya harus ke Aceh selama sembilan hari untuk pekerjaan dagang, jadi sembilan hari pekerjaan daging sementara saya tinggalkan... Waktu itu awal bulan Agustus, saya sempat ketemu Mas Bebek almarhum di depan pendopo Bupati Pidie di Siglie. Cuma sebentar, pertama dan terakhir.

Soal ketidakhadiran yang disengaja, ya sama saja cuih-nya: sibuk. (apa bedane, dul!?)

Bulan depan, mungkin harus kembali lagi ke Aceh, moga-moga tidak ada halangan. Masih ada segepok borok yang belum sempat saya angkut. :)

Terus, iki apa maksute?
Ya sekadar biar tidak lupa.... drafted Aug 10 2007

18 Januari 2008

Saya tidak ulang tahun hari ini....

Tetapi saya mendapat kado yang menyenangkan hati saya, sampai detik ini...
Ditaruh di dalam toples bekas makanan kecil, bertutup merah. Dinding toples kelihatan dengan sengaja dibuat bolong-bolong. Mungkin ditusuk paku.
Jam sepuluh pagi, saya sampai di teras rumah perkulakan dengan perasaan yang biasa-biasa saja. Beberapa detik kemudian rasa senang menguasai hari saya.

Saya menemukan ular di dalam toples. Saya buka tutupnya, ular kecil dan langsing. Tergolong panjang untuk ular selangsing itu.
Terus terang, baru kali ini saya melihat ular macam begini. Di puncak punggungnya ada garis kuning terang, mulai dari pangkal kepala sampai kira-kira 3/5 panjang badannya. 2/5 sisanya hitam. Kepalanya agak kehijauan dan mengkilat, sisi kepalanya bergaris hitam putih dan matanya bulat.

Sudah saya cari hilir-mudik di dunia sini, kok gak ketemu-ketemu namanya... Penasaran betul, saya!! Senang tapi penasaran.
Eeeh..., nikmat ternyata...!

Yang mirip-mirip, ada banyak juga. Mulai dari bentuk kepala, postur, pola warna bahkan sampai matanya yang bulet. Tapi buat saya, tetap saja beda.
Lagi pula, semua yang mirip-mirip itu selalu dibilang asalnya dari amerika atau kanada sana.
Bah! wong ini ditemukan kawan saya di bawah kasurnya, kok... di pinggir kali ciliwung sini, kok.
Saya juga sudah tanyakan kepada pakdhe ngatemo, embuh beliau tau apa nggak...

Kalau mengikuti keputusasaan saya mencari tahu, saya bilang saja dia adalah keluarganya Thamnophis yang dari amerika itu. Sering disebut garter snake, atau juga garden snake.

Nyatanya saya masih belum puas... Tapi siapa tahu, sampeyan tahu, dan mau memberitahu saya. Biarpun tahu itu sekarang mahal...

Update:
Akhirnya, ketidakpuasan saya menemukan jawab..... Pakdhe abu hamas menyorongkan satu nama. Dan pas! ini yang saya cari... Namanya Elaphe flavolineata (flavus=kuning, lineata=bergaris) atau biasa lidah melayu menyebutnya Ular Babi atawa Oray Babi -ceuk urang Sunda, mah... Lidah londo bilang Yellow-striped Ratsnake.

Dia pemakan tikus yang baik dan tidak berbahaya bagi manusia. Setelah dewasa, garis kuning di punggungnya hilang dan berubah warna menjadi coklat kusam, tetapi bagian ekornya yang hitam kelam tidak akan berubah. Sekilas, bisa tersaru dengan ular lain, Kobra, yang berwarna kelabu hitam. Ini yang membuat Oray Babi terancam dibunuh jika bertemu manusia.