27 November 2007

desember tiga hari lagi

horee... sudah hampir 5 bulan!!
saya sampai lagi di sini,
mulai terdengar lagi lagu-lagu warkop di samping meja saya...
"yang baju merah jangan sampai lolos....!!"

04 Juli 2007

kemaren

Tadi siang, tiba-tiba saya ingat tebak-tebakan jaman SD yang pernah diajukan teman saya. "Hayo bethek-bethekan, kapan hari yang paling tidak enak?".
Dari semua anak yang mendengar pertanyaan itu, jawabannya macam-macam. Ada yang menjawab: hari sial, atau hari pas terima rapot trus nggak naik kelas, hari ketika ban sepeda nggembos, hari pas nggak dikasih sangu, hari pas lupa ngerjain pe-er, hari pas ulangan mendadak, dan seterusnya.
Saya ingat kalau waktu itu juga semangat ikut menebak, tapi saya lupa apa saja yang saya sebutkan sebagai jawaban. Tapi yang pasti, semuanya diklaim salah, dan tentu saja yang benar adalah jawaban teman yang menyodorkan pertanyaan itu sendiri. Akal-akalan yang lazim diterapkan, bahkan banyak orang masih melakukannya sampai tua.
Dan seperti sewajarnya, semua anak kemudian bertanya, "trus sing bener, apa?". Si penanya jual mahal dan mengulur waktu dengan kembali menantang, "dibethek sik, no...!", sambil mrenges bernada kemenangan.
Sampai kemudian para penebak sudah terlihat mulai putus asa, barulah jawaban diberikan. "Kemaren. Hari pas tanggal 3 Juli"
"Lho, kok isa??"
"Tiga juli, kan ra penak....?"

Semua anak, termasuk saya, bengong tidak tahu maksudnya. Setelah kembali disebut "tiga juli" sambil dia menggerak-gerakkan kakinya ke depan-belakang, barulah kami mengerti dan bersungut-sungut,
"Wooo, kuwi digajuli...., ra mutu'ik..."

Begitulah kira-kira guyon yang dikatakan tidak bermutu di jaman saya masih anak SD itu. Tanggal 3 Juli dipelesetkan menggantikan kata "digajuli" (disepak, ditendang). Entah dari mana teman saya waktu itu mendapat ide tebak-tebakan model begitu, yang baru bertahun-tahun kemudian saya merasa lucune pol, setelah hal meleset begini menjadi populer.
Ada yang mengatakan bahwa plesetan merupakan gambaran kecerdasan. Tinggi-rendahnya dinilai dari seberapa cepat orang merespon dan ketepatan merangkai kalimat yang salah satu kata di dalamnya sudah dipelesetkan. Dan ini lalu menjadi amunisi penting ketika melucu.
Bagi kelompok pendengar, kecerdasannya dinilai dari kemampuan mengartikan kata yang dipelesetkan menjadi kata yang seharusnya berada dalam kalimat yang digunakan.

Jadi, meskipun dudu plesetan, tapi tulisan saya juga tetap nggak mutu.... Ya gimana lagi, lha wong terlambat cerdas, je....
Ah, wis ah...., saya mau kawin dulu....

aslinya gambar 3 juli itu dari sini
eh, iya... saya mau kawin tanggal 7 juli besok di klaten, mohon doa restu....

12 Juni 2007

ceguk tanpa manuk...

Tahu "manuk ceguk"? atau bahasa indonesianya "burung hantu"? Kalau nggak tahu, silakan intip sendiri di rumah sebelah. Tapi ini bukan soal burungnya, karena saya nggak ngerti. Kyaine Mbilung pasti lebih waskitha soal itu.
Ini soal suaranya yang "kuk..., kuk...., kuk..." itu. Tapi kali ini keluarnya dari dalam tubuh saya. Lho, bukan.... Saya nggak nguntal manuk urip-uripan... Nggak begitu ceritanya....

Hari ini saya sueneng pol, karena saya bisa diam. Ceguken saya berhenti. Iya, memang cuma soal ceguken. Tapi yang ini agak lain, karena sudah dua hari berturut-turut saya dibikin njumbul-njumbul oleh the undefeatable ceguken.
Mau ngomong saja jadi malas, keseringan diinterupsi badan sendiri. Otot perut rasanya njarem alias keju-kemeng. Kerongkongan rasanya seperti meradang. Saya dibikin tidak berdaya.

Memang kadang-kadang berhenti kuk-kuk-nya, tapi cuma jeda sebentar saja. Mungkin kalau sedang tidur, ceguken saya ini berhenti. Mungkin. Saya kan nggak tahu kejadian sebenarnya. Lha wong turu, je....

Pagi ini tidak seperti kemaren, yang begitu saya bangun tidur, langsung njumbul-njumbul, tadi pagi ceguken saya tidak datang.
Nha, tapi.... justru ini yang menciptakan penderitaan baru. Saya begitu was-was jika ceguken saya datang lagi... Coba apa enaknya, bangun tidur kok njur kuwatir? Jangankan mau makan-minum, angop saja jadi nggak nyaman, khawatir menyebabkan ceguken datang. Udud? apalagi....

Pagi hari, bagi saya itu bermakna segelas kopi panas. Kalau nggak, ngalamat ndhas saya kenceng seperti talinya kapal keruk. Jian, dilema tenan, ki...!! Coro...!!!
Saya ambil resiko, daripada menambah penderitaan. Cukup keju-kemeng, tidak perlu ditambah kepala senut-senut.
Saya sruput kopi saya.... slurrrrp..... aaahhh....
Satu sruputan. Saya tunggu...... nggak datang....
Slrrrrrrrrrp... aahhhhhh....
Dua...... Belum datang juga....
Tiga..... Masih aman...., lanjut....
Empat...... Sip!

Harus saya akui, baru sekali itu saya merasakan khidmatnya nyruput kopi. Begitu khusyuk saya memadukan rasa was-was, harapan, serta doa-doa semoga tidak njumbul hari ini.
"Kuk-cekuk... ngaliha nyang mbathuk....."

catatan:
saya sampai nanya ke cak dokter, tapi belum sempet saya baca jawaban beliau, ceguken saya sudah berhenti. Makasih pol lho, cak....

si elmo sedang nglekar kulakan dari tetangga

30 Mei 2007

Selamat Hari Raya....


Besok, Kamis 31 Mei 2007 adalah hari tanpa tembakau sedunia. Bagi saya ini adalah sebuah hari raya. Ya, sebuah hari besar, karena saya merokok. Meskipun tidak sekuat dulu, tapi saya masih sangat tergantung pada mbako lan ubarampéné ini. Anda yang perokok tentu tahu, bagaimana rasanya seharian tidak ngemut barang satu ini...

Kawan-kawan saya yang tidak merokok suka bilang, "daripada cuma sehari, mbok sekalian seminggu, sebulan, setahun atau seterusnya...!" Atau kadang ada yang menimpali, "Sudah tahu merokok itu merusak jerohan, mbokya berhenti... Sadar....!"

Dulu, ketika saya mulai merokok, saya berangkat dari kesadaran bahwa mendiang simbah saya adalah seorang pedagang tembakau kampiun.
Mungkin kesadaran yang sama pula yang akan menghentikan saya...

Jadi, bagi Anda yang merayakannya, selamat nyepaplem sedunia, saudara-saudara....! :D

17 Mei 2007

e v o l u s i

Dia mewujud ketika saya berumur 24 tahun. Tumbuh perkasa dan menyakiti saya hampir dua tahun setelah itu. Tak hanya pikiran dan perasaan, bahkan fisik. Beberapa kali wajah saya tiba-tiba terlihat tambun akibat tingkahnya. Sungguh menyakitkan dan mengganggu komposisi paras saya. Segenap pisuh-pisuhan sudah memenuhi kepala saya, mulai dari jenis-jenis sato kéwan hingga ke pelimbahan.

Jika terus dibiarkan, mungkin suatu saat bisa lebih menyakitkan dari ini. Maka saya putuskan untuk menghentikan rongrongannya. Mbuh bagaimana caranya, harus segera disingkirkan!!

Sama sekali tidak bisa diarih-arih, pergilah saya kepada “sang mumpuni”. Saya ceritakan semua soal si bungsu bejat itu. Betapa kelakuannya menjengkelkan dan memuakkan, menggerogoti jiwa dan raga, lantas merusak segala jenis hasrat saya.

“Sang mumpuni” hanya senyum, kemudian menyelidiki semua yang saya katakan. Menulis-nulis sebentar, dan diberikannya catatan itu kepada saya disertai saran untuk menemui “sang pembukti”, baru kembali lagi kepadanya.

[Siaaall..! hanya oret-oretan begini sama saran pembuktian lebih lanjut, … anjritt!! Malah disuruh wira-wiri…]

Menahan emosi terasa sangat menguras energi, nalar saya tidak lagi tangkas. Persetan dengan “sang pembukti”, SAYA HANYA MAU SI BUNGSU SEGERA DIENYAHKAN. TITIK!!.

Kata-kata penutup “sang mumpuni” sama sekali sudah tak bisa saya dengarkan. Saya undur diri dengan perasaan letih luar biasa.

Saya mencoba tidur, meredakan semua yang sedang saya idap, pikiran, perasaan dan kesakitan. Saya keluarkan catatan dari “sang mumpuni”, berpikir lambat-lambat dengan sisa nalar. Akhirnya saya ikuti juga yang tercatat di sana, tapi untuk datang kepada “sang pembukti”, sama sekali tidak saya pertimbangkan. [wueguahh...!]

Satu-dua hari sudah lewat, saya mereda. Kebetulan saudara saya -yang juga faham betul bagaimana kelakuan si bungsu- memberikan jalan keluar yang saya butuhkan. “Sang penentu” sekaligus eksekutor. Saya minta dibuatkan janji hari itu juga.

Tak lama kemudian saya menemuinya. Sama seperti kejadian sebelumnya, saya bercerita, dia menyelidik. Tapi kali ini kami juga membuat kesepakatan. “Besok, di waktu yang sama, Anda harus kembali kemari.” Saya mengangguk segera.

Esoknya, saya kembali.
Si bungsu disingkirkan, dan saya lega. Berkurang satu ganjalan saya…

-----

Dalam dua pertemuan penentuan, saya menanyakan banyak hal. Nalar saya yang relatif lebih komplet memungkinkan untuk itu. Catatan dan saran dari “sang mumpuni” mendapatkan penjelasan di sini, dan kemarahan saya ketika itu jadi sangat menggelikan.

Bahwa gigi bungsu saya tumbuh serong dan melukai gusi.
[woo…, baru tumbuh saja sudah serong, gimana kalo udah gede…]
Sisa-sisa makanan dan minuman yang tertinggal di mulut, jika tidak dibersihkan bisa menyebabkan infeksi dan pembengkakan.
Jika gusi bengkak, harus dikemp
èskan dulu sebelum dioperasi.
[HAH.., operasi…??!]
Lho iya…, karena gigimu ini gigi sehat. Kalau gigi busuk mah, lebih mudah…
[dan lebih murah… weeek]
Ketika gusi bengkak, pembuluh darahnya juga membesar. Susunan pembuluh ini jadi terlihat lebih ruwet dan uyel-uyelan dengan syaraf-syaraf di gusi.
Yang namanya bengkak kan jadi membesar, lalu mendorong syaraf sehingga bisa bergeser tempat. Ketika operasi dan diodhel-odhel, kan tetap ada kemungkinan terjadi kelebihan
mengiris atau memotong.
[teruus..., teruuus... medèn-medèni....]
Kalau motongnya kelebihan dan kena pembuluh darah, masih lebih mudah dibereskan. Gimana kalau yang kena syarafmu, coba?
[Wakks…! dadi édan, no? Wah, kojur ki…!!] Saya mringis saja, nggak nerusin nanya…

Bener apa nggak, saya nggak tau, pokoknya saya percaya saja. Lha wong yang menjelaskan kepada saya memang kerjanya begituan, kok…

Kalau mau tahu sebetul-betulnya, coba tanyakan soal si bungsu ini kepada ahlinya.

Cuma yang bikin saya bingung sekarang, namanya gigi bungsu tapi kok ada empat biji…, atas dua bawah juga dua.
Kalau tumbuhnya satu-persatu masih ketahuan mana yang paling bungsu, kalau trus bersamaan empat-empatnya, mak brol gitu, gimana?

Lha wong mereka pada nggak punya akte kelahiran.... Mana yang paling bungsu, hayo…?

Catatan:
Sang mumpuni = dokter gigi (mumpuni=mampu, menguasai bidangnya)
Sang pembukti = tukang ronsen

Sang penentu = dokter gigi
Eksekutor = dokter gigi juga

** Soal othot-othotan antara cangkem saya dengan dokternya, tak perlulah saya ceritakan, bayangkan saja sendiri situ… saya males.

perkenalkan, ini gigi bungsu saya yang paling sulung




[Hhhh… k
érééé, kéré…, bungsu saya masih ada tiga lagi…
ngalami evolusi saja kok cuma gusin
é thok!!]


15 Mei 2007

Sabtu - 12 Mei 2007

Pertama kalinya saya menyentuh satu-persatu dan memandangi langsung wajah sebagian besar orang (??) yang suka saya kunjungi di dunia lain.

Saya menjadi terlalu bungah, sampai pada keadaan mendekati nol..., kosong, otak saya istirahat di tempat, nggak mau mikir blas.

Saya juga kebetulan sekali nggak dapat pinjaman jepretator, jadi saya nggamblèh saja berdasarkan yang sempat terekam di dengkul saya (untung saya bawa bek-ap...).

Soal gambar-gambar, ya sudah... nunut saja... mangga, silakan ditelusur di bagian bawah situ. Semoga Tuhan membalas kebaikan tukang jepret yang senantiasa mengawetkan muka-muka itu... Amiiin.

Begini kira-kira kronologinya:
- datang ke CICO/PILI (punteun Pak Satpam...),
- (di)bikin(kan) kopi yang cespleng untuk kepala kenceng (matur suwun kyai mbilung, pakdhe sumux),
- duduk di kantor kyainé yang asbaknya cemènthèl sepasang gondhal-gandhul, sambil pas-pus ngomprongi congor,
- menunggu yang lain thukul sedikit demi sedikit (baguslah... nèk langsung mak brol, malah bingung sing salaman...)
- kongkow-kongkow, menunggu apaaa...?
- madhang...! (huh-hah! sambel gorengé puedhes'ik..!),
- kongkow-kongkow lagi,
- pindah tempat (soalnya tempat lama sudah full sampèk sundhul...), bergeser ke pinggir kali, biar mekanisme plung-lap bisa berjalan...
- ngomba-ngombé (sengkrang-sengkring nèng irung nèk pas glègèken jé..., haaeikk!!)
- mulai gelap, pindah lagi ke tempat semula...
- menunggu dua nayakapraja BH yang baru pulang dari medan perang...
- mrithili satu-satu... saya juga..., jadi kronologinya tidak komplet soalnya saya tidak sampai acara penutupan... coba tanyakan kepada kyainé

sepanjang peristiwa itu saya plonga-plongo menikmati sembarang tingkah polah dan ocèh-ocèhan...
ada yang dièrèt-èrèt bocahé dijak mancing...
ada yang menelusur sejarah kopi darat...
ada yang mendem kenceng sakau keringet...
ada yang bingung batere jepretatornya habis...
ada yang menunggangi sumber kencono...
ada yang bertanya-tanya soal seragam polisi bogor...
ada yang dapat dua rit Baranangsiang-CICO...
ada yang perjuangannya mlétho di bulan kedua...
ada yang cari-cari colokan...
ada yang terlalu semangat ke jogja, sampai kursinya ambrol...
ada yang bertanya-tanya soal "apamu yang terlihat arab"...
ada yang penganten baru buru-buru...
ada yang cari obat kempès buat pensilnya...
ada yang mèsam-mèsem memandang diam-diam kepada juru kisah...
ada yang celap-celup gabus sebelum diemut...
ada yang antuk-antuk di pinggir kali sambil mikirken rahayatnya...
ada yang ciblon gembira ria...
ada yang merekonstruksi tindak plung-lap berjamaah...
ada yang gatelen karna emang dari sananya...
ada yang bal-balan dan main pasir...
ada yang menunggu... menunggu...
ada yang ......
ada yang ...

kesimpulan dengkul saya sementara ini:
"padahal wong édan nggak kurang-kurang, kok dunia ini begitu serius, ya...?"

nah..., untuk reportase yang lebih genah, silakan bergelayutan di mari:
kyai mbilung
kang bahtiar
pakdhe zumux dislameti
mas hedi
gita
mpok bina
luthfi
omith kencono
juragan batik
venus to mars
blantikayu

Sabtu - 12 Mei 2007 ponakan lanang saya berulang tahun ke-3, saya bawakan celengan gajah.
Lho.., ini gajah pa celeng..??
Gajah sudah ditaklukkan, oom... sekarang saya suruh jadi celeng...!

18 April 2007

Juragan Becak

Seperti layaknya di stasiun-stasiun lain, di depan pintu keluar Stasiun Klaten sudah berkumpul kerumunan orang siap menawarkan jasa angkutnya, biasanya ada mobil, ojek, andong atau becak. Mereka begitu hafal jadwal kereta yang berhenti di stasiun, sehingga kerumunan seperti itu akan terjadi berkali-kali dalam satu hari dengan orang yang berganti-ganti.

Mendengar ada yang menawarkan andong dan becak, saya jadi ingat lagu anak-anak:
dondong apa salak, duku cilik-cilik,
ngandong apa mb
écak, mlaku thimik-thimik..

Tapi dalam posisi saya kali ini lagunya agak berubah:
dondong apa salak, bakule dhèmes-dhèmes, (dhemes setara dengan luwes dan ayu)
ngandong apa mb
écak, mlaku teles kebes... (teles kebes = basah kuyup)

Selepas dari stasiun, tujuan kami berikutnya adalah perhentian angkot untuk melanjutkan perjalanan. Sebenarnya tidak terlalu jauh dari stasiun, tapi mau jalan pun pasti basah kuyup, soalnya hujan memang masih belum selesai. Maka pilihan terbaik jatuh kepada becak.

Saya sebut nama sebuah bank -yang terhubung oleh satu jalan lurus ke stasiun- yang harus kami singgahi dulu. Biasalah, urusan logistik tentu harus dipersiapkan sebelum menyelesaikan urusan-urusan yang lain. Sembari kami turun, saya minta si pengendali becak untuk menunggu kami sebentar, karena masih ada tujuan utama kami.

"Mas, pun tengga sekedhap, nggih.. mangké pun terké sisan teng ngekolan". Tanpa menunggu jawaban, kami berlalu. (Mas, tunggu sebentar, nanti sekalian ke ngekolan)

"Ngekolan", hehehe... istilah yang salah kaprah tapi jauh lebih efektif daripada menyebut "tempat menunggu mobil angkutan umum yang memiliki merk Colt dengan seri L-300".

Urusan logistik selesai, kami keluar dari pintu anjungan tunai mandiri dan kembali memanjat becak. Begitu kami sudah duduk dan hendak menarik plastik penutup becak bagian depan, sang pengendali becak berucap,

"Mas, njenengan kok ajeng teng ngekolan niku, yahmènten pun mboten ènten kol, lho...." (Mas, mau ke ngekolan, jam segini sudah tidak ada colt, lho..)
"Tenané, Mas...?" seru saya tidak percaya.
"Lho..., lha kula niku bekas sopir kol solo-nan, jé... Percaya kalih kula, Mas...!" (Saya ini bekas sopir colt, Mas... Percaya sama saya...) Kemudian dia lanjutkan dengan pertanyaan, "Lha, Masé kalih Mbaké niki ajeng tindak pundi, ta?" (Mas dan Mbak ini mau kemana?)
"Teng Karangwuni..." Saya sebut nama tempat di sebelah utara Kota Klaten. (Ke Karangwuni..)
"Ajeng tindak Pédan napa Cawas?" tanyanya dengan nada agak sok tau. (Mau pergi ke Pedan atau Cawas?)
"Mboten, kula ten Karangwuni-né," (Tidak, saya mau ke Karangwuni)
"Ooo... Pun kalih kula mawon, pripun? Nek mung teng Karangwuni men kula dhèrèkké mawon, dospundi?" (O, saya antarkan saja, gimana?)
"Hèh, tebih lho, Mas... nek mung wolung kilonan nggih ènten, lho... ngganggo tanjakan, sisan!" (Jauh lho, Mas.. lebih 8 km, ada tanjakan, lagi..)
"Halah, pun... kunciné rak mung teng Jonggrangan ngriku. Liyane niku pun mboten ènten melih, kok... Paling dangu sakjam, kula tanggung... Napa melih udan-udan ngèten, mesakné... (ma)Ngga...?" (Halah, kuncinya cuma tanjakan di Jonggrangan, saya tanggung paling lama 1 jam. Apalagi hujan begini kan kasihan...)

Tidak jelas arah kata "mesakné" yang tertangkap telinga saya, entah buat saya, teman jiwa saya atau dirinya sendiri. Tapi yang jelas, rayuan dan nada umuknya itu berhasil "membakar" saya... (umuk=sombong)

"(ma)Ngga, kula dhèrèkké mawon, nggih?" (Mari, saya antar saja, ya?)
"Lha trus..., dugi Karangwuni pinten, Mas..?" (Sampai Karangwuni berapa?)
"Mangga sakersa, pun kira-kira dhéwé mawon..." (Terserah saja, dikira-kira sendiri)

Woooo, pancen rada ra cetha bocah iki... Lha wong aku ki penumpangé kok malah kon ngarani ongkosé..! Mengko nek tak wenehi rong ngewu, njur ngejak gelut....!? Dalam hati saya nggedumel. (Woo, gak jelas..! penumpang kok disuruh nentuin tarif. Ntar dikasih 2 ribu malah ngajak ribut...)

"Lho, pripun ta njenengan niku? Lha ya njenengan sing ngarani, no...!" nada kalimat saya agak meninggi. (Lho, gimana sih, berapa dong?)

Dia terdiam, mungkin mikir-mikir. Akhirnya agak pelan dia menyebut angka, "Tigangndasa pripun, Mas...? pun diétung sedaya termasuk sing niki wau..? (Tiga puluh ribu semuanya, gimana?)

Kami saling pandang, begitu teman jiwa saya mengangguk, saya segera mengiyakan tawaran "The Master of Geol" itu.
Wis... mbuh, karepmu!! pikir saya...

"Kalau capek, saya nggak tanggung lho, Pak...," kali ini teman jiwa saya yang memberi peringatan plus nada ragu.

"Halah... bèrès, Mbak!"

Kesepakatan sudah tercapai, segera Mas Becak nyéngklak sadelnya dan mulai menggenjot... (nyengklak=menaiki dengan melompat)

Di dalam ruang penumpang, teman jiwa saya berucap pelan, "Orang Klaten memang gila!!"
"Hehehehe...," saya cuma terkekeh pelan tidak mengiyakan pula menyanggah.

Beberapa menit mengayuh dalam gerimis, dia mulai menuturkan curriculum vitae-nya. Dia memulai mencebur dalam bisnis transportasi rahayat ini tahun 1994 sebagai kenek colt. Tahun berikutnya dia berhasil meng-upgrade kemampuan dan mempromosikan dirinya sendiri menjadi sopir angkutan jenis yang sama, dengan trayek Klaten-Solo. Profesi sopir ini dia jalani sampai tahun 2004, ketika dia memutuskan untuk mengganti wahana yang dikemudikannya dengan menukarkan tabungannya menjadi sebuah becak.

"Olèh-olèhan nyopir niku rak tesih kudu nggé tumbas bèngsin kalih nggé setoran ta, Mas...? Timbangané ngoten kula ya milih mbécak mawon tapi genah duwèké dhéwé...," urainya kepada kami berdua. (Pendapatan nyupir itu kan masih dipotong bensin dan setoran, kan lebih baik saya pakai becak milik sendiri, Mas)

Saya hanya mengangguk-angguk dalam ruang penumpang, dalam hati menyatakan sepakat bulat-bulat... Hebat sekali Mas Becak ini, tetap memilih jadi juragan untuk dirinya sendiri meskipun kata orang turun derajat, daripada jadi buruh!

Dia kemudian menceritakan keadaan sepanjang jalan yang kami lalui bak pemandu wisata kampiun. Penumpang di becaknya memang tidak bisa memandang ke luar karena plastik penutupnya berwarna putih dan sudah semakin buram akibat terlipat atau tergores.
Penumpang hanya bisa menyibak sedikit pinggiran plastik, sekadar bisa mengintip ke depan tapi tetap sulit memandang kanan-kiri.

Saya colek teman jiwa saya, sambil menunjuk warung tenda yang kemarin malam kami singgahi. Tulisan biru dan merah pada tenda kain warna putih itu berbunyi, Welut Goreng dan Sambel Welut Pak G'. Di bagian bawah tertulis nama tempat dimana warung berdiri, Depan LP Klaten. Sayang sekali saya tidak membawa alat jepret.

"Mengké dalu ènten ndhangndutan teng alun-alun lho, Mas. Disiarké teng tivi niku mengké..." (Nanti malam ada panggung dangdut di alun-alun, Mas. Disiarkan di tv juga) Dia berujar tanpa menyebutkan stasiun tv mana yang menyiarkannya, dan saya juga tidak bertanya karena sedang tidak bernafsu nonton ndhangndhut live saat hujan terus-terusan begini ataupun nonton tivi kemresek..., tapi saya intip juga alun-alun yang dia maksud. Tidak kelihatan alun-alunnya karena sudah terlewat tapi mata saya menangkap satu-satunya mall di Klaten yang letaknya bersebelahan dengan alun-alun, yaitu "Plasa Klaten".
Nama pasar modern ini adalah peninggalan jaman orde baru, ketika diberlakukan pengindonesiaan nama-nama bangunan megah di tahun 1995. Kebetulan saya belum pernah menemukan pengindonesiaan seperti ini di tempat lain. Dua kali sayang, tidak ada kesiapan saya untuk menjepret bangunan peninggalan ini.

Becak terus melaju meninggalkan pusat keramaian. Kata-kata pemandu wisata instan juga mulai terhenti karena jalan sudah ada yang mulai menanjak.

Akhirnya, sampailah kami di tanjakan yang kami bicarakan sebelumnya di daerah Jonggrangan. Dilihat dari kejauhan, tanjakan itu memang lumayan mantap kalau ditempuh dengan genjotan, cocok untuk proses memperbesar betis. Kami berdua mulai was-was.
Tapi umuke mas pengemudi ternyata terbukti. Memang betul di daerah Jonggrangan ada tanjakan, tapi sebelumnya juga ada turunan yang tak kalah asoy. Dengan pengalamannya yang lama di jalanan, dia sudah mengenal betul jalan ini. Lubang dan kerutan aspal bisa dihindari dengan mulus sehingga turunan bisa menyumbangkan tenaga yang maksimal untuk becaknya ketika jalanan menanjak. Perhitungan yang matang!

Selewat tanjakan, barulah beliau mulai lagi buka suara, "Karangwuni pundiné ringinan, Mbak?" (Karangwuni sebelah mana pohon beringin, Mbak?)
Sudah tentu yang ditanya tidak bisa menjawab, mengerti pertanyaannya saja belum tentu... Sayalah yang kemudian menjadi juru bicara,
"Ngalor melih, Mas.. étan ndalan..." (Ke utara lagi, Mas.. Sebelah timur jalan raya)
"Kalih saténan?" (Dengan warung sate?)
"Tesih ngalor sithik.. Ngebanan nika lho, Mas.." (Masih ke utara lagi, tempat kerajinan dari ban)
"Oo... nggih... Ngertos, kula..."

Dalam waktu kurang-lebih empat puluh lima menit kami sudah tiba di depan rumah... Betul-betul orang ini... lebih dari delapan kilometer menggeol dengan beban tiga orang.

Kami melompat turun. Sambil menghindar dari hujan saya minta dia masuk dulu dan menunggu sebentar, kemudian saya masuk rumah. Sambil menyiapkan ongkos yang sudah kami sepakati, saya raih kamera.
Ketika saya keluar, ternyata dia malah jongkok di samping becak, tak mau masuk rumah... Aah, sudahlah.... speechless, saya....

"Mas, nyuwun gambaré angsal, mboten?" (Mas, minta gambarnya boleh, nggak?)

Dia cuma nyengir, trus ambil posisi di depan becak. Jepret, jepret, jepret...

"Wah, maturnuwun lho, Mas..." kata saya. Eh, dia langsung menyalami kami berdua...
"Sami-sami, Mas... Kula pamit riyin, ajeng langsungan mawon selak peteng..." (Sama-sama. Saya pamit dulu keburu hari gelap)

Belum sempat saya merespon, dia sudah langsung nyéngklak sadelnya lagi dan mengayuh... Saya bengong... Lho...?? Saya juga belum sempat tanya namanya...
Hari hampir maghrib, mungkin memang sudah saatnya dia pulang setelah seharian menghayati peran hidupnya, berbekal "dungoné simbok" di rumah... (dungone simbok maksudnya doa ibu)

Belakangan setelah melihat lagi hasil jepretan, ....uassem ki...!! di kaosnya tertulis: "PLEASE DON'T PROVOKE ME". Sementara dia sudah berhasil mem-provoke saya sehingga "panas" dan naik becaknya....

catatan:
semoga penjelasan di dalam kurung tidak mengurangi kenyamanan membaca....

12 April 2007

blaik...!

april wis meh pertengahan'ik....

rasanya.. belut goreng cocok, ni.... nyem-nyem-nyem...
nasi hangat, kering tempe, sambel tomat, wedang jahe... sip tenan!
dadoos....!

23 Maret 2007

Kuat Tanpa Obat

Sudah tentu saya tertarik ketika diajak berkunjung ke mbun-mbunan burung nun jauh di timur sana.
"Berangkat Minggu malam, ya? Kita berangkat jam 9 malam.."
"OK, bos..."
Ketika saya lihat-lihat lagi tanggalnya, lho...kok... acaranya hari Senin pagi...!
Wah, sementara urusan pemberangkatan semua sudah diselesaikan... Ya wislah, pikir saya..

Maka berangkatlah kami hari Minggu malam itu, transit 3 kali, dan sampai di Manokwari hampir jam 8 pagi esoknya atau jam 6 di Jakarta. Acara dijadwalkan mulai jam setengah sepuluh Waktu Indonesia Bagian Timur.
Beberapa teman seperjalanan -termasuk pakdhe soldadu grinpis mengundang- mampu tetap "on" dan langsung mengikuti acara...
Saya tidak habis pikir, dari mana mereka mendapatkan kesaktiannya. Kalau menurut pepatah bikinan saya sendiri, "esuk makani pitik, awan njabuti enthik, sore ngurupke ublik, bengine nyuluh jangkrik"*.
Pokoknya ampuh tenan lah...!!

Saya sendiri terus terang nggak kuat model begitu. Jadi sesampai di lokasi, saya mangkir ngawula mata alias micek dulu... Setelah badan menjadi lurus kembali dan angin yang menjadi unsur utama badan saya terkonsolidasi kemudian mewujud dalam bebunyian yang merdu bikin nafsu, segeralah saya mencuci badan dan membuang ampas angin. Setelah itu barulah saya bisa ikut-ikutan nggambleh bersama yang lain dengan badan lebih seger.

Keampuhan itu, setelah saya telusuri hal-ihwalnya, sesungguhnyalah soal manajemen pikiran demi mempengaruhi efektivitas dan efisiensi istirahat selagi melakukan perjalanan panjang.
Kalau hanya begitu, lantas apa anehnya...? Memang tidak ada, hehehehe...
Tapi mungkin memang ketidakmampuan mengolah pikiran itulah yang membuat saya tidak beroleh kekuatan seperti teman-teman saya yang lain. Kebetulan kali ini saya menggunakan pesawat sebagai alat transportasi.

Setelah saya identifikasi beborok di pikiran saya, ternyata kira-kira begini hasilnya:

  1. saya tidak takut matinya, tapi saya takut sakitnya.
  2. saya belum bisa menjawab pertanyaan "apakah kawin itu enak?".
  3. saya was-was ketika mendarat, jauh melebihi rasa was-was ketika lepas landas atau sewaktu terbang, sementara saya harus mengalami 4 kali pendaratan.
  4. saya was-was dengan sakit telinga sekeluar dari pesawat.
  5. saya menyesal karena lupa nggak bawa jaket sehingga kedinginan kena AC.
  6. saya bertanya-tanya apakah pramugari itu keroyokan kalau pakai parfum, kok semua baunya sama...
Kemudian setelah saya karang-karang, resep mengurangi rasa was-was saat naik pesawat itu begini:
  1. jangan sering-sering membaca berita kecelakaan, baca komik saja.
  2. yakinkanlah bahwa yang di kokpit pesawat itu pilot, bukan tukang ojek yang suka mematikan mesin ketika jalanan menurun.
  3. bayangkan yang indah, baik, manis, saru juga boleh, yang penting tidur nyenyak.
  4. lakukan perjalanan panjang dengan perut kenyang, karena yang menghadapi demonstrasi cacing dan naga di perut adalah mata Anda!
  5. tutup telinga Anda dengan earphone, headphone, kapas atau kaos kaki juga nggak apa-apa (tapi jangan lupa, tutupi hidungnya juga..!).
  6. mengunyah makanan menjelang lepas landas atau mendarat. Kalau nggak ada makanan, bahu teman duduk Anda juga sepertinya enak...
  7. bawalah kupluk atau topi dan jaket atau sarung yang lembut dan hangat untuk melawan dinginnya AC.
  8. jangan suka menciumi pramugari hanya karena mau tau baunya...
Nah, apa yang biasanya membuat pikiran Anda mengganggu perjalanan? Apa pula yang Anda lakukan untuk mengatasinya?


*="pagi memberi makan ayam, siang mencabut entik (sejenis umbi-umbian yang bisa dimakan), sore menyalakan lampu minyak, malam mencari jengkerik"

Bogor Terancam Puting Beliung

Judul kecil di bawah kolom "Kilas Metro" -harian Kompas tanggal 22 Maret 2007 halaman 25- ini saya baca dalam perjalanan pulang ke tepian Ciliwung.
Sayang sekali hanya kecil saja, betul-betul "kilas" dalam artian sebenarnya. Karena kalau Anda khilaf sedikit saja, berita ini tidak akan terbaca. Atau mungkin memang tidak dimaksudkan untuk memberi peringatan...?

Ini sekalian saya tampilkan berita komplitnya yang cuma pendek saja:

"Wilayah Bogor, Jawa Barat, terancam serangan puting beliung hingga akhir pekan ini. Kepala Kelompok Data dan Analisa Kantor Badan Meteorologi dan Geofisika Bogor Hendriantoro, Rabu (21/3), mengatakan, warga di wilayah Bogor diminta waspada karena cuaca buruk yang mengakibatkan puting beliung masih bisa terjadi. "Saat ini sangat mungkin terjadi angin ribut karena sedang peralihan musim hujan ke musim kemarau," ujar Hendriantoro. (ong)"

Ada yang bisa ngasih pencerahan, apa yang bisa kita lakukan kalau nanti putingnya lewat?

16 Maret 2007

Cah Ayu....

Kemarin menjelang jam delapan malam, saya sudah berniat mau pulang karena body sudah kembali sukar diajak kompromi. Biar gerimis akan saya terjang, begitu pikir saya. Selesai mengemasi barang-barang yang berserakan di lapak, saya pergi ke kamar mandi untuk menguras cairan sisa dari salah satu kantong di perut saya. Tidak ada yang khusus dengan kegiatan ini, semata soal menghindari perut kembung dan saluran mampet.

Sekembalinya dari kamar mandi, dia sudah berada di depan pintu. Teman lama.
Aneh rasanya... Beberapa bulan -hampir satu tahun- lalu, saya menemuinya di depan pintu sebelah selatan dan saya biarkan dia pergi malam itu juga. Kemarin malam saya bertemu lagi tetapi di depan pintu sebelah utara. Masih tidak berubah, muda dan cantik, bahkan sangat cantik menurut saya. Demi ini, saya ijinkan dia menginap satu malam...

Dia masih begitu muda, pembawaannya kalem dan bukan jenis yang pemurka.

Nama susahnya Cylindrophis ruffus. Lidah melayu menyebutnya ular kepala dua. Di tanah pasundan sering disebut oray totog. Yang ini panjangnya belum sampai 20 sentimeter, masih jauh dibandingkan dewasanya yang bisa lebih dari setengah meter.

Kalau Anda ketemu lagi dengan yang ini, jangan digencet ya?
Karena tidak semua yang indah itu berbisa....

06 Maret 2007

Kamu bikin prihatin...

Dia coklat, masih muda, agak gondrong, bertampang agak sendu, tidak galak dan tidak brengsek.
Ini cerita soal kirik, bukan iklan cari jodoh, orang hilang atau daftar pencarian orang, karena sekali lagi ini soal kirik.

Jadi, saya sedang prihatin karena kirik ini sudah tiga hari nggak mampir. Memang bukan kirik milik saya, tapi kirik ini bikin meriah di tempat sehari-hari saya berada. Sudah sumadulur begitu lah... Iya lho..., sudah seperti saudara, meskipun roman muka saya masih lebih orang daripada dia -sudah saya buktikan dengan ngilo, ngaca, bercermin untuk memastikan muka saya tidak mirip si kirik (hehehehe.... sori, pu... sesama anak asu dilarang saling nyontek!).

Satu hari nggak muncul, saya pikir masih wajar..., namanya juga kirik, saba kemana-mana...
Hari kedua nggak muncul juga, saya mulai bertanya-tanya dan berprasangka, bapak-ibunya juga mulai panik...
Hari ini, sudah yang ketiga ..[garuk-garuk].. ha mosok, rindu kok mbek asu...!

"hush, hush, apu.., keluar!", "sialan apu! bau..", "smelly dog!", "asuik, mambu..", begitu kala si kirik habis nyemplung bak sampah...
"halo, apu..", "udah makan, pu?", "bapakmu mana, pu?", kata-kata para orang kalau si kirik sedang manis...
Begitulah, nama depannya Apu. Masih ada nama belakangnya, tapi nggak perlulah itu disebutkan...

Biasanya, kala tidak hujan, dia sudah nyelonong ke dapur siang-siang, atau leyeh-leyeh di teras depan, atau merecoki kucing tetangga.
Kala hujan, tetap saja keluyuran di jalan, masuk teras dan, "kipit-kipit-kipit..", terjadilah penularan basah kuyup...

Lha sekarang nggak ada lagi itu... Padahal bak sampah masih bau, hujan juga masih turun...
Kemana kamu, rik...?

05 Maret 2007

Awas PKI...



wakakakakaka..... komedi pagi ini di halaman depan korannya urang bogor.....
saya tidak menertawakan Pak Supardi,
anda tahu sendirilah saya menertawakan siapa...

mau ikut ketawa? nggak juga nggak papa....

28 Februari 2007

AH, MATA ITU.....



coba pura-pura mabur bak kyai manuk dan lihat dari langit,
bagus to?
kenalkah Anda padanya?
matanya itu.... kesetiaannya itu....
ya betul...!

saya belum pernah ikut bermalam sabtu di situ,
baru sering mendengar dan membaca kabar,
dari satu mulut dan sekian kulakan.

mata itu...
sepertinya mata hijau itu mendelik memelototimu...
siang para urban dan demonstran,
malam para ndésowati dan ndésowan,
mungkin tersulut cewawakan, bengkerengan, kabruk-kabrukan, obong-obongan, pisuh-pisuhan, tangis-tangisan, kangen-kangenan, jiwit-jiwitan, cengèngèsan, cekakan, entut-entutan, pencilakan, pecicilan, dol-tinuku, atau mungkin juga kepesingan.....
yang dibawa serta agen-agen penjajahan kota metropelitan

mata itu.... matamu,
salahé dhéwé jadi harta rahayat....

27 Februari 2007

pisuhan nasional

Lagi enak-enak melancong di dunia mbuh, mataku ménclok pada kata-kata yang familier dan biasanya muncrat tanpa saringan...!
wadhuh... ketiwasan, kakang mas.... sonyolé sapa kuwi.....?
padahal buntuté go.id, lho... turnèh mendapat pelototan tingkat nasional..., kok isiné pisuhan....

Setelah agak mat bacanya, woo bukan, bukan pisuhan... jebulé singkatan...

WOOOO..., matané..!!
Hehehehehe.... Lha wong éndonésya ki yèn gawé akronim kok ya sakgelemé udelé dhéwé...
Apa waktu wajib penataran P4 jaman dulu itu kupingé dha buntet, jadi pas materi wawasan nusantara biyen mlebu kuping kiwa metu menèh kuping kiwa? atawa lulusnya nyogok? atawa pake joki?
Endonésya yang beribu-ribu pulau itu, jaréné mas kumpeni (lho malah londo...?) punya sedikitnya 700 bahasa... (uakèhmen ya? aku ya lagi ngerti, jé... hehehehe....). Salah satunya ya bahasa dari biyungnya si "ayam den lapeh" ini...
Dan lagi, sudah selazimnya yang saru-saru itu pasti paling gampang dipelajari... iya apa iya?

Mosok, bikin singkatan kok "pantek"... niyat ndhagel apa kurang gaul? atau mungkin memang berniat ngatrol popularitas di hati seluruh rahayat éndonésya napak tilas Mas Thukul?

Bakunya ya sudah bener sih... panitia teknis... diambil suku kata depan, sama dengan pantek..(hihihi...), bukan panis, nitek, dan seterusnya...
Tapi mbokyao kalo susah itu jangan dipaksa...
dibiarkan saja begitu adanya... lha wong cuma dua kata ki lho... kecuali memang berniat ikut-ikut bikin singkatan nggladrah jaman jaran ini....

pantat selengkapnya di sini.

25 Februari 2007

PESUT AIR

Di antara kulakan saya yang pating sléngkrah, saya nemu soal kemontormaburan. Setelah saya garuk kulakan yang ini, terus mulailah saya menghayati bagian paling asyik darinya, yaitu: thithil-thithil...
Dua tahun ke belakang, sebut awal taun 2005 thèt sampai sekarang, paling tidak ada 32 insiden dan kacilakan kemontormaburan, dari yang keplèsèt, kejlungup, ban mbledhos, mesin ngowos, nabrak, gogrog, dan seterusnya...
Saya masih asik menthelengi kulakan saya ketika tiba-tiba.... Badalaaa...tai coro!! thithilan saya nyerempet di bagian yang bikin sedhut-senut, bahwa yang 24 kejadian itu terjadi pada pesawat angkutan penumpang..!
Dalam hati saya menyesali thithilan demi thithilan yang terlalu dalam dan penuh penghayatan... Wééés, sem-kecut! nggak bisa di-undo! tapi ya nggak bisa stop juga..., gatel keri semu pénak, jé...!

Coba-coba thithilannya saya geser dikit biar agak ayem...

"Dari 24 itu, yang 20-nya nggak ada korbannya"
"... nggg... NDAK ISA GITU!! JUSTeRRU karena yang empat ITUUUUU! .... Dua ratus tujuh puluh empat jasad iTUUU!"
"Kalok dalam statistik, angka-angka beginian enak aja dibanding-bandingké... Lha ini angka bukan sembarang angka... Ini nyawa, lho!" Kawanku yang tukang thithil kampiun itu mberok berkelanjutan.
Ealah... saya kira bakalan jadi ayem.... malah makin...."Mau berapa pun jumlahnya, tetep ndak bisa dibandingké!!"
Saya diem aja, dalam ati cuma bisa bilang ".... teroooous...." sambil nerusin thithil-thithil.

Hasanuddin 6
Soekarno Hatta 3
Djuanda 2....

Sebelum si kawan ini protes lagi, saya nggremeng duluan, "Ini bukan sekor perlombaan antar pahlawan untuk acara pitulasan... ini tempat dan jumlah salah kedadèn para montor mabur penumpang itu... Ini cuma itungan montor mabur keplèsèt aja kok, su...."
"Meskipun hanya keplèsèt dan tidak menimbulkan korban nyawa, tapi kalo sudah bolak-balik, kan ya bikin gatel.... Ini montor maburnya yang sudah uzur atau landasannya yang sudah harus dipermak...?"
"Ha mbuh... saya kan bukan pawang montor mabur apalagi tukang ngaspal. Saya itu kan cuma thithil-thithil kulakan, su..."
"Ya mungkin sudah betul pertanyaanmu itu, contoné montor mabur ini, dan bisa terjadi sama yang lain-lain juga, mungkin sangking tuanya, encoknya kumat-boyoke mléngsé, udah ditèmbèl koyo' tapi masih nggak kelihatan sembuh juga... entah karena umurnya atau jalannya yang èlèk....."

"Tapi bai-nde-wé montor mabur model begitu juga sip... Mungkin mbésuk bisa diganti nama jadi Lumba-lumba Air atau Pesut Air saja... kayaknya lebih cocok sama bodi...., piyé...?"

15 Februari 2007

kulakan kebahagiaan

Masih seputar Simbah, dasarnya pekerja keras dan pecinta keluarga, tak mungkinlah kedua hal itu ditinggalkan mak prung, gitu...
Pulang dari pasar, pasti bawa jajanan yang jan uénuk-énuk buat cucu-cucunya yang sedang berlibur dan menginap di rumahnya. Itu salah satu model memancing kedekatan yang klasik dengan para cucunya. Tapi ada satu caranya yang memang tidak lazim dipandang orang. Selain dengan alasan beliau memang tidak terbiasa ngajak main jaran-jaranan atau jungkir walik di kasur frankenstein-nya, juga karena badan sudah capek sepulang dari pasar, apalagi kalau lihat umurnya. Lalu bagaimana Simbah mengajak para cucu memupuk kedekatan di sela sore istirahatnya?
Saya rasa waktu itu Simbah berpikir sangat keras hingga menemukan formula ini. Formula yang betul-betul merupakan contoh simbiosis mutualisma beraroma keluarga. Sesudah membariskan pasukan, menggelar tikar sambil memberikan instruksi-instruksi dan es-o-pe, melucuti kaos putih cap kupu-nya, terus mengkurep. Segeralah para cucu bergerilya ngusek-usek punggung simbahnya sambil jegigas-jegigis... Dan dengan sedapnya Simbah liyer-liyer sampai ketiduran penuh kebahagiaan...

"Oalah Mbah, kangen aku nglongkopi daki di punggungmu itu.... dhuwik selawé repismu itu bikin aku serasa kaya mendadak...."

14 Februari 2007

kulakan ngelmu

Mbah Kakung saya, pedagang tulen... Anak-anaknya, putu-putunya, cicit-cicitnya nggak ada yang mungkir. Yang dijual tembako pilihan, kata Bapakku -sang mantu tersayang- yang sering kecipratan mbakonya simbah...

Tapi anehnya, kalau di pasar, beliau lebih populer sebagai guru... Lho, kok bisa? ha mbuh, saya juga nggak tau... wong saya juga nggak pernah bisa membuktikan sendiri. Saya taunya juga dari cerita para koleganya di pasar yang mengucap bela sungkawa ketika dengan heroiknya Simbah berangkat ke hadirat Tuhan. Gimana nggak heroik, alih-alih berleha-leha asoy di usianya yang 80 tahun, beliau malah naik pit onthèl tercintanya mau memberi beasiswa untuk gundala sang putra petir lewat kantor PLN. Ndilalah kersaning Allah, di perjalanan pulang Simbah kena serempet truk pasir....

Sekarang dalam hati saya baru nggagas, jangan-jangan mbakonya mbahku itu cuma kamuflase saja, yang pokok adalah dagang yang lain, yaitu ngelmu....? Ini yang bikin saya jadi percaya kalau guru itu jenis pekerjaan yang turun-temurun. Lha nyatanya, semua anaknya itu guru semua, mantunya juga hampir semua guru. Sedangkan saya sendiri, sudah berusaha muter melingker ngluwer biar jadi yang bukan guru... lha kok... tetep aja jadi guru...... Nèk minggu turu....